Renungan 1
Renungan Fisika
kosong tapi isi
isi tapi kosong
apakah bedaNya?
Dia-lah hakikat kosong dan isi
(Dimitri Mahayana, 26
Oktober 1994)
1.
Tarian Elektron
Dalam kelembutan udara pagi, dapat
kita reaspi segenap keindahan mayapada ini. Segar udara mersap ke dalam dada.
Lembut sejuk menyentuh udara yang dipenuhi segenap embunnya. Sempurna bias-bias
cela’ memerah sang cahaya infra-merah yang menyertai bulatan memerah Surya.
Apakah itu semua? Apakah kesegaran? Apakah penglihatan? Dan apakah yang ada di
blaik semua yang ada di mayapada yang tampak ini?
Manakala
pandangan inderawi mulai mncerap segala peristiwa, mulailah manusia dipaksa
untuk mengkonsepsikan bahwa mentari-lah suatu unsur yang penting dalam berbagai
peristiwa. Maka fisika memulai pembahasan dalam berbagai hukum-hukum materi.
Apaka materi itu? Sesuatu yang memiliki massa
dan menempati ruang. Itu definisinya. Kenapa didefinisikan seperti itu? Karena
kita dapat mengkonsepsikannya langsung secara mudah dengan indera kita. Ruang
hampa tidak memiliki massa
walaupun menempati ruang yaitu dirinya sendiri. Dan secara intuitif seolah
diyakini bahwa ruang hampa ini tidak berefek atau tidak menimbulkan peristiwa
apapun.
Prinsip
niscaya rasional, -yaitu hukum sebab akibat-, memaksa ummat manusia untuk
melakukan pendakiannya menuju hukum-hukum dan hakikat-hakikat di balik apa yang
tampak. Amati seluruh materi yang tampak! Karena secara mudah materi dapat
dibagi, maka timbul suatu pertanyaan penting, apakah materi dapat dibagi
terus-menerus tanpa batas atau ada batas terkecil di mana materi tidak dapat
dibagi lagi. Demokritus dan Dalton
menjawab dengan teori atomnya. Ada
bagian terkecil dari suatu zat yang tidak bisa dibagi lagi, yaitu atom! Semua
zat terbentuk dari beberapa unsur dasar (kira-kira seratus unsur). Tiap unsut
murni terdiri dari milyard milyard milyard…atom-atom yang maha kecil, tetapi
tidak bisa dibagi lagi. Jika atom-atom dari berbagai unsur murni bergabung,
maka terbentuk molekul, yang merupakan zat dengan sifat-difat fisis yang
berbeda-beda dari unsur semula.
Teori bahwa
atom adalah bagian terkecil suatu benda yang tidak bisa dibagi lagi gagal
menjelaskan beberapa hal, terutama ia gagal menjelaskan berbagai efek
kelistrikan maupun kemagnetan. Ia gagal pula untuk penjelasan yang memuaskan
dalam berbagai sifat kimiawi berbagai unsur dan senyawa. Dari mana datangnya
arus listik? Bagaimana menjelaskan penemuan elektron Thomson? Elektron
merupakan partikel mikro-mikro yang bermuatan negatif yang bisa muncul misalnya
saat kita memanaskan sebuah filamen. Apakah elektron ini juga atom? Kalau
elektron ini atom, mengapa ia dapat berasal dari berbagai unsur? Teori atom ini
juga gagal menjelaskan dengan baik sifat periodisitas dari berbagai unsur yang
telah ditemukan dan disusun oleh Dmitri Mendeleev dan Lothar Meyer.
Apa artinya?
Kalau kita menatap dan melihat bahwa kertas ini utuh dan merupakan suatu materi
yang malar, ataupun bangunan kita adalah suatu materi yang tersusun kokoh kuat,
atauoun melihat bahwa baja itu suatu materi kontinyu maha-kuat, sebenarnya,
semua yang kita lihat itu menurut teori Bohr sederhana 99,999999999999 % Ruang
Hampa! Sama sekali bukan materi kontinyu menurut bayangan kita. Jadi yang kita
anggap garis lurus batas suatu logam itu nafi! Itu hanya imajinasi. Kenyataan
sebenarnya tidak ada garis tersebut, dan meteri itu ada di titik-titik ruang
tertentu yang maha-kecil saja. Sebenarnya semua yang kita lihat, ini “kosong”
tapi nampak seolah-olah “isi” karena adanya keterbatasan penglihatan kita dalam
mencerap kenyataan ini. Seadainya mata kita dpat melihat benda yang ukurannya
satu juta-juta kali lebih kecil dari apa yang biasa kita lihat sehari-hari maka
ia akan bisa menyaksikan “kekosongan” ini.
Lebih lanjut
ternyata ditemukan lagi bahwa inti ataom terdiri atas berbagai pertikel yang
lebih kecil, seperti netron dan proton. Netron memiliki massa tapi tak bermuatan. Proton memiliki massa dan bermuatan
positif. Menjadi pertanyaan berikutnya, kalau proto-proton bermuatan positif,
kenapa mereka tak tolak menolak. Jawabnya? Karena adanya gaya kuat! Dewasa ini Prof. Dr. Abdussalam
dan kolegannya telah berhasil membuktikan bahwa gaya kuat ini dihasilkan karena ternyata
proton maupun netron terdiri dari berbagai partikel yang lebih kecil lagi….!
Sampai kapan penemuan-penemuan partikel yang lebih kecil ini akan ditemukan
lagi? Semakin lama semakin kecil. Semakin kecil semakin luas kekosongan…….
Adalah suatu
pandangan yang amat logis dan tidan bertentangan dengan kenyataan maupun
hukum-hukum fisika yang berlaku kita membayangkan dalam sari-sari terkecil
suatu benda apapun, yang ada hanyalah titik-titik tertentu dalam ruang yang
membawakan efek bagi lingkungan sekitarnya, dari kekosongan yang berisi. Apa
isinya? Medan-medan berbagai efek yang ditimbulkan dengan pusat. Berbagai
titik-titik tersebut berkarakterisasi memiliki massa ,
medannya adalah medan
gravitasi. Jika memiliki medannya adalah medan
listik, dan seterusnya. Menurut pandangan ini, materi yang kelihatannya menurut
mata kita adalah sesuatu yang malar, kontinyu ini tidak lain hanyalah suatu
kekosongan ruang yang di dalamnya terdapat berbagai efek meda. Efek medan bukanlah suatu materi yang malar, Ia bukanlah materi
arti fisik sesuatu yang menempati ruang dan memiliki massa .
Salah satu
yang terpenting sebagai penghasil medan-medan ini adalah elektron. Elektron
dapat ktia konsepsikan sebagai suatu titik-titik dalam ruang yang memilki
gejala medan
tertentu. Ia bergerak terus menerus mengitari inti atom. Gerakan elektron
memindahkan titik-titik pusat meda tertentu, mengubah energi yang terkandung
dalam medan , di
buang ke luar atom dalam bentuk cahaya atau mengubah sifat-sfat mikro atom.
Mekanika
kuantum datang memberikan analisis yang jauh lebih akurat dan lebih umum. Persamaan
Schrodinger, -yang merupakan suatu persamaan differensial parsial yang amat
rumit-, memberikan solusinya untuk berbagai persoalan di alam mikro. Spektrum
yang dihasilkan oleh atom Hidrogen dapat dijelaskan dengan baik oleh teori
Bohr, tapi persamaan Schrodinger memberikan hasil yang lebih teliti.
Satu aspek
terpenting dari mekanika kuantum adalah bahwa gterak dari titik massa dipandang sebagai
gerak gelombang? Apa itu gelombang? Bayangkan ketika bunyi datang pada anda
tanpa melalui rambatan partikel. Tapi apa yang dikatakan mekanika kuantum? Jiak ada bola datang pada
Anda, maka gerak bola ini dipandan sebagai gerak gelombang. Artinya apa? Ada partikel datang pada
Anda tanpa melalui adanya partikel yang datang pada Anda. Yang pertama berasal
dari kenyataan bahwa ada materi yang datang pada Anda. Yang kedua berasal dari
kenyataan bahwa gerak tersebut menurut Mekanika kuantum dapat dipandang sebagai
rambatan gelombang. Apa artinya? Terjadi dualisme! Lebih dalam lagi? Teori
kontradiksi! Jadi apa kesimpulannya? Pada tahap ini sebenarnya
definisi-definisi fisika tradisional yang dikembangkan berdasarkan pengamatan
inderawi tidak dapat digunakan lagi.
Perhatikan
pengertian materi menurut apa yang telah kita bahas sebelumnya. Pandang materi
sebagai suatu ruang di mana di dalamnya terdapat medan-medan. Apa artinya meda?
Medan adalah
kemampuan untuk menggerakan sesuatu. Artinya medan tiada lain adalah energi. Apa arti medan ? Medan
adalah usuikan atau gangguan jika dilihat dari keadaan tidak ada medan . Jadi materi dalam
pengertian ini langusng identik dengan gelombang itu sendiri. Jadi gerak materi
dapat dipandang sebagai gerak gelombang, karena materi dan gelombang itu sama
saja.
Jadi inilah
salah satu pengertian, “kosong tapi isi,
isi tapi kosong” Kosong, tidak ada materi yang malar yang mengisi berbagai
ruang seperti yang ada dalam imajinasi kita, bahkan telah menjadi definisi
kita! Isi, berisi berbagai medan
yang mampu mengubah dan menggerakan berbagai hal lain. pandang tangan Anda.
Perluhkan bahwa berbagai tampak luar dari tangan Anda adalah imajinasi, hasil
keterbatasan indera kita. Sebenarnya tidak ada materi malar, kosong, Kosong!
Yang ada hanyal berbagai interkasi medan
atau energi, Isi!
2.
Kabut-Kabut
Kemungkinan
di
balik kabut Semeru
tiada
tampak ujud seribu burung yang sedang berkicau nyaring
di
balik kabut Sang Maha Meru
tiada
tampak….Di Manakah Ia yang sejati, yang senantiasa
bertabir
dalam berbagai ia-ia
dimitri
mahayana, 29 Oktober 1994
Sebuah aspek
penting lain dari mekanika kuantum adalah bahwa gerak suatu partikel mengikuti
suatu hukum yang bersifat probabilistik. Terutama jika kita tetap pada
keyakinan kita bahwa partikel, -sebutlah misalnya elektron-, merupakan sesuatu
yang memiliki massa
dan menempati ruang, waktu hanya sati titik. Jika dalam benak kita masih
tergambar bahwa elektron misalnya adalah suatu bola mahakecil, maka posisi
maupun kecepatan elektron di suatu saat, tertentu bersifat probabilistik.
Persamaan
Schrodinger memandang gerak benda sebagai rambatan suatu gelombang. Energi gelombang
terkandung pada suatu bagian ruang tertentu berbanding lurus dengan kemungkinan
titik partikel terdapat pada bagian ruang tersebut. Tapi ingat hanya
kemungkinan. Dan kemungkinan tetap kemungkinan. Jadi perhatikan urutan premis
di bawah ini;
1.
Jika
kita memandang bahwa Persamaan Schrodinger adalah salah satu hukum yang berlaku
di alam
2.
Dan
jika kita memandang partikel pada dasarnya adalah sesuatu yang menempati ruang
dan waktu.
Maka;
“Hukum yang mengatur gerak
partikel-partikel tidak bersifat deterministik, artinya ia bersifat
probabilistik”.
Jadi kepada
arwah Dr. Eistein dan Dr. Schrodinger, mari kita ungkapkan penafsiran ini.
Tuhan tidak bermain dadu. Karena dadunya tidak ada. Karena partikel, -sebagai
dadu-, hanyalah konsepsi imajiner. Kalaupun partikel itu bergerak bagai dadu,
-bukanlah Tuhan yang memainkannya-, fikiran dan imajinasi kitalah yang
memainkannya. Pemikiran kita terbatas, konsepsi kita tentang materi telah
mengurung kita dalam penjara-penjara tiada ujung yang menyedihkan. Bukanlah
kini saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa selama ini kita terpenjara, dan
mari bersama-sama melakukan “Escape form
thies beloved jail,-Melepaskan diri dari penjara yang kita cintai ini-“.
Melepaskan diri dari konsepsi bahwa partikel adalah sesuatu yang memiliki massa dan menempati
ruang.
Sebagai
sebuah contoh, perhatikan suatu bola tenis yang mengenai tembok baja beton
setinggi enam meter. Misalnya bola itu mengenai tembok dengan arah tegak lurus
terhadap tembok pada ketinggian satu meter. Mekanika kuantum menyatakan bahwa
“ada kemungkinan bola akan bergerak menembus tembok, muncul dan melanjutkan
geraknya di balik tembok, tanpa ada bagian tembok yang terlubangi.” Memang
kemungkinan itu kecil sekali, amat sangat kecil sekali. Tapi itu tetap mungkin!
Dan hal ini benar-benar mustahil dan seolah melanggar prinsip non-kontradiksi
jika kita tetap bertahan pada pengertian kita bahwa meteri adalah sesuatu yang
memiliki massa
dan menempati ruang. Secara eksperimental, gejala ini telah dibuktikan dalam
skal atom oleh Dr. Ivan Giaever, salah seorang pemenang Nobel fisika pada tahun
1973. Jadi inilah bagi kita dari pengertian danpemahaman kita atas materi yang
telah terlalu mendasari berbagai pemikiran kita.
Materi adalah
kabut. Yang menutupi kenyataan. Walaupun di gunung berkabut yang terdengar
hanyalan kicau burung, kita yakin bahwa ada burung walaupun tak tampak. Jika
kita hanya berfikir tentang kabut, mungki saja mengkonsepsikan bahwa kabut
itulah yang berkicau. Betapa naifnya jika kita tergeletak dalam kepekatan kabut
materi!
3.
Gerak,
Ruang dan Waktu: Apakah itu?
Alam adalah
gerak. Gerak air terjun, gerak udara dalam angin, gerak amuba-amuba dalam air
gerak elektron mengitari proton, dll.
Apa itu
pasana yang memiliki berbagai derajat? Derajat panas suatu gas tidak lain adalah
suatu sifat makroskopik dari gerakan dan tumbukan trilyun trilyun
trilyun…molekul-molekul gas. Ditinjau di alam mikronya, dari tiap molekulnya,
suhu tidak mempunyai makna. Yang ada hanyalah energi gerak dari molekul-molekul
tersebut. Dan ini secara makro dapat dirasakan oleh indera manusia maupun
indera dari suatu alat ukur dan disebut suhu.
Apa itu arus
listrik dan berbagai gejalan dalam rangkaian elektronik? Adalah gerakan
elektron melalui berbagai media.
Apa itu
gelombang air? Adalah gerak rambat energi melalui sifat-difat elestisitas dari
mediumnya, yaitu air.
Apa itu
cahaya? Adalah gerak rambat energi elektromagnet melalui suatu medium ataupun
ruang hampa.
Apa itu
bunyi? Adalah gerak rambat energi melalui getaran dari partikel-partikel udara.
Ketika getaran partikel-partikel itu mengenai telinga, akan dikenali sebagai
bunyi.
Apa itu
berbagai reaksi kimia? Adalah gerakan perpindahan elektron-elektron dari satu
orbit ke orbit lain, sehingga secara makro dikenali dengan berbagai perubahan
sifat kimiawi berbagai zat.
Adalah telah
menjadi konsepsi umum bahwa sifat “gerak” seolah hanya bisa dinisbatkan kepada
materi. Padahal tidak demikia. Dalam fisika tradisional itu sedniri, gerak
dibagi menjadi gerak materi dan gerak gelombang. Gelombang bisa merambat tanpa
memerlukan perambatan materi. Jadi dasarnya gerak adalah perambatan enegeri.
Apa energi itu? Kemampuan melakukan usaha atau gerak. Kemampuan untuk
menggerakkan suatu benda dari keadaan diam menjadi bergerak.
Lebih lanjut
Teori Relativitas Einstein telah membuktikan ekivalensi massa dan engeri. Massa
itu energi itu massa .
Jika anda sedang berfikir kemampuan sesuatu untuk mempengaruhi yang lain,
berarti Anda sedang memikirkan engeri. Sedang jika Anda sedang berfikir tentang
kemampuan sesuatu untuk lebih besar bersifat lebih lembam, -lebih sulit untuk
digerakkan oleh yang lain. jadi karena massa
ekivalen dengan energi, maka secara lebih umum gerak dapat dinisbatkan kepada
“energi” saja. Karena materi adalah energi itu sendiri. Kenapa tidak kita
nisbatkan pada “materi”? karena pada pembahasan yang telah lali kita jelaskan
bahwa materi adalah merupakan suatu konsepsi subyektif yang telah kehilangan
nilai keobyektifannya dalam Mekanika Kuantum. Jika Mekanika Kuantum benar,
konspesi tentang gerak harus diubah. Kita tidak bisa menisbatkan suatu gerak
pada sesuatu yang tidak ada secara obyektif, yakni materi.
Jadi apa itu
engeri? Kemampuan untuk menggerakkan suatu massa . Atau dengan kata lain adalah kemampuan
suatu definisi yang tidak tepat secara logika, karena definisi itu mengandung
apa yang didefinisikan itu sendiri. Energi adalah kemampuan untuk menggerakkan
energi lain. energi lain adalah kemampuan untuk menggerakkan energi lain lagi,
dan seterusnya. Ini akan menghasilkan rantai definisi tanpa ujung, sehingga
definisi ini kehilangan maknanya.
Dengan
menilik definisinya, dengan mudah dapat dibuktikan bahwa gaya dapat dimaknakan sebagai perubahan
energi tiap satuan jarak dalam ruang yang ditempuh.
Sehingga
dapat diperoleh tiga unsur yang paling mendasar bagi gerak, yaitu: energi,
ruang dan waktu. Anggaplah dulu bahwa ketiga unsur ini aksiomatis, tidak dapat
didefinisikan lagi. Tapi awas! Teori Relativitas Einstein kembali menyatakan
bahwa ruang maupun wakti tidak absolut, tapi relatif. Tidak dapat didefinisikan
suatu ruang dan waktu mutlak. Ruang dan waktu memiliki makan yang personal,
amat personal. Suatu partikel (sekarang baca: energi!) yang bergerak relatif
terhadap partikel lain (sekarang baca: energi lain), masing-masing akan
memiliki ruang dan waktu sendiri-sendiri! Jadi seandainya, sekali lagi
seandainya, energi dapat dibayangkan sebagai suatu makhluk yang memiliki
derajat kehidupan dan kesadaran tertentu, ruang dan waktu bersifat subyektif!
Lebih jauh lagi mereka tidak memiliki makna tanpa adanya gerak dari benda
tersebut. Mungkin itulah suatu dasar dari ucapan “Ruang dan Waktu? Ilusi,
hanyala ilusi!”. Ruang dan Waktu kehilangan makna adanya tanpa adanya gerak
dari pertikel (baca: energi!). Lebih lanjut energi adalah kemampuan untuk
melakukan gerak itulah energi, itulah
materi. Ruang dan Waktu? Adalah ilusi dari gerak. Karena itu benarlah khutbah mulia dari Sayyidina Musa bin
Husein Al-Habsyi Al-Bangili (r.a): “Tiada lain alam ini adalah gerak dan materi
hanyalah potensi untuk melakukan gerak”.
Dalam kekosongan
segala
kudapati
ruang
dan denyut
nafaskupun menyadari roda-roda waktu
Dalam
ketiadaan ruang maupun waktu
kudapati
Gerak, sumber dari semua citra di
mayapada
Apakah Gerak
itu? Aku tidak tahu
Yang kutahu,
sekiranya Gerak itu satu-satunya yang Ada
maka Gerak
tiada akan berGerak
Jadi Ada dan
Tiada apakah artinya?
Di balik Ada dan Tiada, hanya
kulihat satu Hakikat,
Tuhanku,
Tuhan Yang Maha Agung dalam kesendirianNya !
Renungan 2
Renungan Tauhid
langit dan
mentari
siang
berganti malam
kulit dan
jauhari
citra buhulan
terang
Hud-Hud Rahmaniyyah
dimitri mahayana, 1993
1. Syarah kalimat “langit dan mentari”
Adapun sumber segala kehidupan adalah
langit. Langit artinya bukan bumi. Arti lebih luasnya adalah bukan dunia atau
bukan termasuk alam materi. Langit artinya sesuatu yang lebih tinggi dari bumi.
Lebih tinggi dalam artian konsepsional. Sebagaimana sebab mendahului akibat.
Dapat dikatakan sebab memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari akibat.
Adapun sari kehidupan adalah gerak dan
perubahan. Dan gerak memerlukan energi. Karena energi-lah melakukan gerak.
Perubahan tiada lain adalah efek-efek gerak, ia pun memerlukan energi. Dari
mana datangnya energi untuk seluruh kehidupan di bumi? Dari matahari, sang surtya
yang senantiasa perkasa menebarkan milyun-milyun-milyun……. fotonnya ke jagat
raya. Dan sepercik, -sebagian amat kecil-, dari foton-foton itu sampai ke bumi,
menghidupi berjuta tanaman, tanaman menghidupi berjuta hewan, hewan dan tanaman
menghidupi brjuta hewan lain maupun manusia. Sumber enegri semua kehidupan di
bumi adalah energi matahari.
Adapun mentari dalam sya;ir di atas
memiliki tafsiran kias yang lebih luas. Mentari diartikan sebagai Cahaya Wujud
Mutlaq, sumber iluminasi semua wujud lain. Mengapa?
Perhatikan sebuah benda. Ia tak akan
tampak ada tanpa adanya cahaya. Baik dari segi obyektif maupun subyektif. Dalam
kegelapan mutlak, tiada akan tampak wujud apapun, lebih dalam lagi. Perhatikan
sebuah benda. Ia adalah materi. Telah diketahui bahwa massa tiada lain adalah energi yang diam
terkungkung dalam suatu struktur tertentu. Dengan kondisi tertentu ia dapat
berubah menjadi energi. Energi dalam bentuk apa? Cahaya! Inilah yang terjadi
pada bom maupun matahari. Jadi dalam relung-relung atomik sati-sari benda tiada
lain adalah cahaya.
Karena itu dalam sya’ir ini cahaya
digunakan untuk mengkiaskan sesuatu yang lebih umum lagi, yiatu ‘kebendaan’
suatu benda. Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip niscaya rasional dalam diri
kita senantiasa menanyakan pada kita mengapa dunia ini ada, mengapa ini ada,
mengapa itu ada? Segala sesuati yang maujud membutuhkan Sebab. Dan sebab
itu-lah yang memberikan eksistensi padanya. maka dapat kita buat rantai-rantai
pertanyaan kenapa ini ada, misalnya jawabnya karena x1 (sesuatu pertama) ada.
Selanjutnya dapat kita tanya lagi, kenapa x1 ada (sesuatu kedua) ada, jawabnya
karena x2, dan seterusnya. Maka tiada mungkin rantai ini tidak berawal,
seandainya ia tidak berawal dari-mana semua mata-rantai lain memperoleh
eksistensinya? Jadi pasti harus ada satu ujung sebab yang memiliki eksistensi
mandiri, tidak tergantung kepada lain. sebab ini keberadaannya harus dan
ketiadaannya mustahil.
Sebab pertama adalah Keberadaan Mutlaq
(Al-Wujud Al-Muthlaq). Artinya
jawaban dari pertanyaan apa itu sebab pertama, adalah sebab pertama adalah
keberadaan itu sendiri. Karena jika sebab pertama itu sesuatu selain keberadaan
maka ia harus memiliki sebab lain yang memberinya keberadaan. Dan karena
ternyata iru masih memiliki sebab, maka ia bukan sebab pertama. Namun kalau ia
tidak memiliki sebab lain, maka ia tidak mungkin memberikan sesuatu yang tidak
ia miliki. Yakni keberadaan. Padahal, secara aprior, kita yakini bahwa kita dan
hal-hal lain itu ada secara real. Artinya realitas membenarkan adanya
keberadaan bukan subyektif atau imajinatif.
Sebab pertama itu tunggal. Kenapa?
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebab pertama adalah keberadaan itu
sendiri. Atau wujud qua wujud. Misal
ada dua ujung rantai sebab, dengan kata lain ada dua sebab pertama. Dan sebab
pertama satu adalah keberadaan itu sendiri. Misal sebab pertama kedua adalah
sesuatu selain sebab pertama satu. Maka ia adalah sesuat yang bukan keberadaan
itu sendiri dan artinya ia bukan sebab pertama. Jadi jika ada dua ujung rantai
sebab, kedua sebab pertama tersebut harus identik. Argumen ini dapat
dikembangkan untuk berapapun ujung rantai sebab. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa, jika ada banyak ujung rantai sebab, maka mereka semua harus identik.
Artinya hanya ada satu sebab pertama. Satu yang tidak mempunyai kemungkinan
sama sekali untuk dijumlahkan menjadi dua. Argumen ini berdasarkan suatu premis
bahwa keberadaan mempunyai makna yang
ekivalen pada semua yang maujud, pada Wujud Wajib maupun Wujud Mumkin. (Lihat Carutan Wahdatul-Wujud, Sayyidina Musa
Husein Al-Bangili Al-Habsyi dan Syarhe-Mandzhumah, Mulla Hadi Sabzavary).
Sebagai sebuah contoh argumen sederhana dari premis ini adalah bahwa ketiadaan
A, ketiadaan B dan ketiadaan segala sesuatu memiliki maksa yang identik. Maka
karena ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik, keberadaan A,
keberadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi
dari ketiadaan A, ketiadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing
merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, ketiadaan segala sesuatu
memiliki makna yang identik. Dan sesuatu yang secara subyektif identik (satu)
pasti secara obyektif satu adanya, sebagaimana bahwa satu bayangan pada cermin
tidak mungkin dihasilkan oleh dua obyek
di depan cermin.
Sebab pertama itu tidak terbagi. Tidak
terbagi dalam arti logis. Artinya tidak mungkin tersusun atas sesuatu-sesuatu
lain yang lebih kecil. Kenapa? Kalau ia terbuat dari sesuatu-sesuatu yang lain
yang lebih kecil, maka sesuatu-sesuatu yang lain lebih kecil itu apa? Jika
salah satu dari sesuatu-sesuatu yang lebih kecil itu adalah keberadaan mutlak
maka yang lainnya adalah ketiadaan mutlak. Dan karena yang lain adalah
ketiadaan mutlak berarti sesuatu-sesuatu yang lain itu tidak ada. Jadi hanya
ada satu sesuatu yang tidak lain adalah keberadaan mutlak itu sendiri. Jika
tidak ada diantara sesuatu-sesuatu itu yang merupakan keberadaan, maka darimana
mereka memiliki keberadaannya? Tentu memerluka sebab. Lebih lanjut, jika
sebabnya adalah gabungan diantara sesuatu-sesuatu tersebut yang telah kita
sepakati sebagai sebab pertama, ini akan membuat satu rantai sebab tanpa ujung
lagi, dan telah dibuktikan bahwa ini tidak mungkin. Kemungkinan lain adalah
bahwa memang ada sebab selain dirinya yang memberikan keberadaan pada sesuatu-sesuatu
ini, dan berarti sesuatu-sesuatu ini maupun gabungannya bukanlah merupakan
sebab pertama.
Sebab pertam itu tidak bersifat
material. Kenapa? Karena materi adalah sesuatu yag terbatas oleh ruang dan
waktu. Jika sebab pertama itu materi, maka ia terbatas oleh ruang dan waktu. Ada dua keadaan yang
mungkin di sini. Kemungkinan pertama adalah ruang dan waktu adalah sesuatu yang
lebih luas dari sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak
termasuk sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak
termasuk sebab pertama. Karena sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri maka
sesuatu selain sebab pertama itu tidak ada. Kemungkinan kedua adalah bahwa
sebab pertama tersbeut adalah ruang dan waktu itu sendiri. Kalau sebab pertama
identik dengan ruang dan waktu, berarti ia terbagi, karena ruang dan waktu
dapat dibagi menjadi bagian-bagian ruang dan bagian-bagian waktu yang lebih
kecil. Dan ini kontradiksi, karena keberadaan mutlak tidak terbagai.
Jadi dapat dibayangkan bahwa sumber
segala yang maujud adalah Matahai Wujud Mutlaq yang memancarkan cahaya
wujudnya, memberikan keberadaan dari segala sesuatu yang ada. Mentari ini
bukanlah merupakan sesuatu yang material, ia tidak terikat ruang dan waktu,
tapi meliputi itu semua, karena Ia lah yang memberikan keberadaan pada
wujud-wujud mungkin selain diriNya. Sang Maha Surya perkasa yang ada di ufuk
tertinggi langit dari segala sesuatu. Demikianlah maka terucap baris pertama
dari sya’ir di atas.
“Langit
dan Mentari”
Jadi yang dimaksud dengan kalimat ini
adalah, bahwa saat kita melihat semua realitas maka di atas semua realitas
tersebut, terda[at Langitnya. Langit dalam artian logis, artinya sesuatu yang
memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari realitas itu sendiri. Dan di atas
langit ada langit, di atas Langit ada Langi, di atasnya lagi ada langit, …….,
dan di puncak langi dari segala langit terdapat. Ia sebagai Mentari Wujud
Mutlak, yang memberikan Cahaya Wujud kepada segala yang maujud. Semuanya tiada
tanpa Ia. Semuanya tiada tanpa Ada .
Semuanya tiada tanpa Ia. Sang Wujud Yang Mutlak. Jadi semuanyam baik segenap
indera kita, mata kita, perasaan kita maupun semua hal yang ada di lua diri
kita tiada tanpa Ia, Sang Wujud Mutlak. Oleh karena itu sebelum kita melihat
berbagai fenomena, maka secara subyektif maupu obyektif kita “melihat” dulu
“Al-Wujud Al-Muthlaq” yang memberikan keberadaan dan merupakan satu-satunya
keberadaan bagi semua yang maujud. Hal itu seolah disyaratkan oleh ucapan
“Butalah mereka yang tiada melihatNya di pelupuk matanya”, atau “Aku meliha
Tuhanku dengan mata hatiku”, atau “Tiada Ia kecuali Ia”. Ia mendahului seluruh
kedipan mata yang melihat, telinga yang mendengarm hidung yang bernafas, hati
yang berdetak, pembuluh darah yang berdegup malu, rasa yang mulai bergeletas.
Ia menyertai mereka semua setiap saat dan setiap waktu dan di setiap hal yang
tiada dapat dibatasi oleh waktu apapun dan ruang apapun.
2. Syarah kalimat “siang
berganti malam”
Adapun mengapa terjadi siang dan
malam? Panas (“yang”) dan dingin (“im”)? Kebaikan dan keburukan? Tinggi dan
rendah? Keindahan dan kejelekan? Nikmat dan sakit? Pahala dan dosa? Tua dan
muda? Besar dan kecil? Terang dan gelap?
Kenapa terjadi Dualisme-Dualisme?
Mengapa ada kutub-kutub? Dan lebih lanjut dari dualisme-dualisme ini muncul
pula berbagai hal yang plural? Apakah hal-hal yang berkutub ganda ataupun
hal-hal yang plural ini eksis secara objektif? Ataukah mereka hanya eksis
secara subyektif?
Apakah benar terdapat kebaikan dan
kejahatan? Kebenaran dan kesesatan?
Prinsip kausalitas menyatakan bahwa
suatu Sebab tertentu akan menimbulkan akibat tertentu pula. Tidak mungkin suatu
Sebab yang sama menghasilkan berbagai macam akibat. Maka tidak mungkin Sesuatu
yang secara obyektif tidak terbagi menjadi Sebab bagi suatu akibat yang secara
obyektif terbagi. Karena jika akibat yang
ditimbulkannya secara obyektif terbagi pasti membutuhkan sebab lain yang
menimbulkan “keduaan” atau “kepluralan” akibat obyektif. Jadi dalam hal Sebab
Pertama, tidak mungkin ia menjadi Sebab dari akibat yang terbagi secara
obyektif, karena Sebab Pertama tidak terbagi. Karena Semua adalah akibat dari
rantai sebab yang berujung pada Sebab Pertama, maka tidak mungkin dua hal yang
secara logis kontradiktif kedua-duanya eksis secara obyektif. Jika yang satu eksis
secara obyektif maka yang lain pasti tidak eksis secara obyektif.
Jadi jika Kebaikan Ada maka kejahatan
tiada. Konsepsi subyektif kita akan ketidakadaan kebaikan dalam sesuatu itulah
yang disebut kejahatan. Jadi kejahatan mungkin ada secara subyektif dalam
artian negasi dari Kebaikan. Demikian pula dengan Tinggi dan rendah, Besar dan
kecil, Panas dan dingin, Muthlaq dan relatif, Terang dan gelap.
Dengan adanya dualisme-dualisme dalam
konsepsi subyektif kita, terdapat ruang-ruang pengertian, relung-relung
pengertian “dua-dua”. Dan karenanya gabungan subyektif-subyektifitas ini bisa
menghasilkan pluralitas. Jadi yang plural (al-katsrah)
itu ada secara subyektif, dan tidak ada secara obyektif. Dengan kata lain ia
hanya ada dalam alam imajinasi.
Siang berganti malam, menunjukkan
adanya gerak dan perubahan. Gerak adalah perpindahan keadaan dari suatu keadaan
ke keadaan yang lain. Gerak tidak mungkin terjadi jika pada suatu Ruang yang
memang hanya mengandung Satu Titik Mutlak. Karena berarti tidak akan terjadi
perubahan apapun. Karena itu minimal harus terdapat dua titik agar terjadi
gerak dan itulah makna Siang berganti malam. Siang berganti malam menunjukkan
bahwa minimal harus ada satu dualisme agar terjadi gerak. Dari ini menunjukkan
bahwa gerak sebagai gerak, -motion as
motion-, hanya eksis secara subyektif. Sari dari segenap alam adalah gerak,
alam tanpa gerak dan perubahan tidak mempunyai makna. Dalam pengertian yang
sederhana, dalam fikiran kita, ada Tuhan sebagai Sang Maha Sebab dan ada alam,
yaitu segala sesuatu yang bukan Tuhan. Karena dalam fikiran kita telah ada
minimal dua hal yaitu Tuhan dan bukan Tuhan maka dapat terjadi gerak, dan
itulah sari dari penciptaan itu sendiri. Namun perlu digaris-bawahi bahwa
ruang-ruang dualisme (keduaan) maupun pluralisme (kejamakan) di mana dapat
terjadi gerak tersebut, hanya memiliki eksistensi subyektif. Sehingga keduaan
dan kejamakan yang “ada” dalam berbagai perubahan hanya ada dalam imajinasi.
Dengan kata lain seluruh alam ini hanya “ada dan jamak” dalam imajinasi. Dan
sesungguhnya Semua ini “Ada
dan Tunggal” secara obyektif.
Maha Suci Ia yang
menciptakan Siang dan malam sebagai tanda, Yang menciptakan semua selain Ia
dalam imajinasi, Yang membiaskan berbagai peristiwa dalam prisma-prisma
pemahaman hamba-Nya. Maha Suci Ia Yang senantiasa menegaskan bahwa tiada selain
Ia, tiadalah semua yang tiada. Cahaya Wujud Yang Maha Tunggal memancar dan
“dalam” imajinasi seolah tampak keberadaan “ketiadaan”. Pancaran inilah sumber
alam dan semua yang ada. Tapi, sekali lagi, Tiada selain Wujud Tunggal ini,
Tiada apapun selain Dia. Dia dan tiada apapun selain Dia! Dia!
3. Syarah kalimat “kulit
dan jauhari”
Adapun “kulit” adala sesuatu yang
langsung terlihat. Dan jauhari adalah sesuatu yang ada di balik “kulit”.
Dilihat dengan mata, sebuah jambu memiliki kulit jambu. Jika di balik kulit
jambu ini tidak terdapat zat jambu maka tidaklah dikatakan bahwa sesuatu itu
jambu. Tapi jika terdapat sebuah jambu yang telah mengelupas kulitnya maka ia
tetap disebut jambu. Itulah jauhar jambu.
Sesuatu di kenali tidak dengan
kulitnya tapi dengan jauharnya. Penampakan luar yang terlihat tidaklah
menunjikkan sesuatu tersebut. Dengan kata lain “ada” sesuatu yang menunjukkan
“kesesuatuan” dari sesuatu. Inilah yang kita sebut jauhari dari sesuatu.
Jika kita memandang sesuatu sebagai
sesuatu tersebut, maka jauharnyalah yang penting bukan kulitnya. Sebagaimana
jika kita memakan buah pisang, buanglah kulitnya dan makanlah zat pisang yang
ada di dalamnya. Karena itu hal-hal yang bersifat “luar” ataupun lebih tegas
lagi bersifat “inderawai” tidaklah penting selama hal itu tidak mempunyai relasi
dengan “kesesuatuaan” dari sesuatu yang sedang kita perhatikan. Jika anda
melihat sesuatu rudal janganlah melihat dari segi “bentuknya secara estetis
indah atau tidak”, “catnya berwana apa”, tapi pandanglah dari segi “keefektifan
penembakan, pengejaran sasaran dan peledakan” yang berhubungan langsung dari
“kesesuatuaan” suatu rudal.
Dan adalah suatu pertanyaan maha
penting sebagai berikut. Pandanglah Segala Sesuatu sebagai Sesuatu. “Apakah
Jauhari dari Segala Sesuatu ini?”. Atau dengan kata lain. “Apakah hakikat dari
Segala Sesuatu ini?”.
4. Syarah kalimat “citra
buhulan Terang”
Citra artinya bayangan atau imajinasi
sesungguhnya imajinasi tiada lain adalah satu jenis bayangan yang dihasilkan
oleh cermin fikiran. Segala sesuatu yang tampak selain Ia adalah citra. Adalah
bayangan. Hanya eksis secara subyektif. Semua kulit-kulit yang kita lihat
selain Ia adalah citra, adalah khayalan. Dimitri sebagai “dimitri” dengan
keapaan atau batasan-batasannya sebagai “dimitri” yang Anda lihat saat ini
adalah khayalan. Artinya dilihat dari Obyektifitas yang Maha Obyektif “dimitri”
adalah suatu khayalan atau citra yang subyektif. Dan bukan berarti bahwa secara
“obyektif praktis”, “dimitri” tidak ada. Karena sebenarnya alam
“obyektif-praktis’ yang kita rasakan sehari-hari ini suatu alam subyektif yang
memiliki “derajat obyektifitas” tertentu.
Pandang Segala Sesuatu sebagai
Sesuatu, maka hakikatnya bukan lain adalah Wujud Maha Gemilang Yang Maha
Mutlak. Kenapa? Telah dibuktikan bahwa Hanya Ia yang Ada
secara Obyektif, dan selain Ia tiada secara Obyektif. Jika hakikat, dari segala
sesuatu bukanlah Keberadaan itu sendiri (wujud qua wujud atau wujudun bima huwa
wujudun), maka dari mana Segala Sesuatu tersebut memiliki keberadaan? Dan jika
Segala Sesuatu tersebut tidak memiliki keberadaan maka ia tidak ada dan ini
tidak mungkin.
Jadi segala sesuatu yang tampak di
mata ataupun tersirat di hati ataupun terdengar di telinga ataupun terasa di
pembuluh dara, ataupun segala sesuatu yang ada di alam obyektif-praktis ini
tiada lain hanyalah Citra buhulan Terang. Citra buhulan pancaran Cahaya Wujud
Mutlak yang terpancara dari Wujud Tunggal ke alam ketiadaan mutlak (Al-;adam
Al-muthlaw, -atau nothingness).
Cahaya tersebut terpancar dalam imajinasi, memunculkan berbagai “keberadaan” wujud-wujud
yang mungkin, dan berbagai wujud-wujud yang mungkin tersebut lebih lanjut
menjadi cermin dan prisma yang membiaskan –Cahaya tersebut menjadi Lautan
Gemilang Cahaya. Di antara Cahaya-Cahaya tersebut jika terbuhul (terikat)
dengan suatu struktur-struktur tertentu muncullah citra-citra. Citra-Citra
muncul seperti buih yang muncul di lautan. Citra-Citra adalah buih-buih dalam
lautan Wujud Cerlang Gemilang.
Jadi jauhar dari Segala Sesuatu adalah
Dzat Tuhan Yang Maha Agung, -Sang Wujud Mutlak Yang Maha Tunggal Yang Tiada
Terbagi oleh berbagai penyifatan-, Tapi tidak ada satu bagian apapun yang
tampak oleh indera maupun fikiran kita dari alam ini yang dapat diidentikkan
dengan Tuhan. Segala Sesuatu adalah Tuhan, tapi tidak ada sesuatu apapun yang
masih mungkin dicerap oleh indera maupun fikiran kita yang identik dengan
Tuhan. Inilah yang mungkin sering disebutkan dengan istilah “Huwa/Laa Huwa,-
Dia dan tidak Dia-“. Segala Sesuatu adalah Ia, tapi tidak ada sesuatu apapun
yang ada dalam kejamakan ataupun keduaan ini yang identik dengan Ia. Tidak
suatu konsepsi subyektif siapapun yang mampu mencerap pengertian yang sempurna
tentang Ia, Wujud Yang Maha Sempurna dalam KeTunggalan dan KeTakterbagiannya.
Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan kalimat “Ma arrafnaka bihaqqi
ma’rifatik, -Tidak-lah kami kenali diriMu dengan pengenalan yang sebenarnya-“
atau dengan kalimat “Duhai Yang senantiasa kurindukan tanpa pernah
kubayangkan”.
Jadi kesimpulannya? Seluruh apapun
yang dituliskan dalam makalah ini tentang Ia pasti tidak bisa menggambarkanNya
sebagaimana adaNya! dan apa artinya, anggap saja seluruh isi makalah ini adalah hiburan lepasa senja
yang tidak mengandung Kebenaran sama sekali! Sebagaimana yang telah dikatakan
oleh Guruku tct, Maulana Rumi, “Sesungguhnya para filosof itu berdiri di atas
kaki kayu”. Bagaimana mungkin “melihatnya” dengan cara apapun kecuali dengan
“PenglihatanNya” ? “Yaa man laa ya’lamu ma huwa wa laa KAIFA huwa wa laa aina
huwa wa laa HAITSU huwa illa huwa”.
Dan
kepadaNyalah aku berlindung dari keburukan segenap kebodohan kami, dan Semoga
keberkahan Sholawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya yang suci senantiasa bagi
kita semua.
Renungan
3
Renungan
Cinta
menatap Muhammad buhulan rindu
tiada lidah yang tak kelu
tiada zarrah yang tak lebur
tiada alam yang tak lenyap
tiada mentari yang tak malu
tiada bintang-bintang yang tak
bergetar-getar menahan segenap kelipnya
merintih akulah geletar cahaya
Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
dan tiada pula awan yang tak
berarak-arak menanti pertemuan dengan Mu,
duhai Muhammad …
Sajak Maulid Nabi, dimitri mahayana,
1994
Wajah
Asmara
dalam
Nuansa
Nyala
di dada
Buhulan
Cinta !
dimitri
mahayana, 1 November 1994
Wajah Asmara, Dia adalah puncak
kesempurnaan yang mengatasi seluruh batas-batas terjauh alam imajinasi. Dia
adalah puncak keagungan yang melampaui seluruh kebesaran rajanya raja di raja,
dalam dunia, alam dan jutaan dan milyaran bahkan trilyun….. alam-alam yang ada
(al-‘alamiin). Dia adalah puncak keindahan yang melampaui seluruh keindahan
bidadari pencabut sukma. Di adalah Sang Maha Anggrek yang terselubung dalam
hari Guruku YM Sayyid Musa yang keindahannya semoga senantiasa dipancakan-Nya
ke maya pada. Sebatang Anggrek yang terkulai jika tiada dikenali. Anggrek dengan
sejuta wangi kesturi. Dia-lah Sang Maha Gravitasi dengan segenap Keindahannya,
KeagunganNya , KeCantikannya, Kewangiannya. Maulana Rumi Guruku tercintan
mengatakan tentang Ia, ohh betapa pedih lengkingan sebatang seruling. Mengapa
duhai seruling yang tak tahu darimana aku harus menyandarkan
punggung-punggungku kalau aku lelah. Aku rindu Bambu tempat asal muasal aku
mengada. Suaraku adalah geletar lara keterpisahan. Dimanakah Ia ,
duhai Bambu? Dimanakah Ia , duhai Sari-Sari Pusaran Cintaku? Dimanakah Ia ,
Wahai Sang Maha Rupawan?
Wajah Asmara adalah permukaan luar
dari Kekasih Abadi yang senantiasa rapat tertutup dalam tabir-tabir kegelapan
ataupun tabir-tabir cahaya. Wajah Asmara adalah tujuan tajalliyyat (penampakan
Keindahan dan Kesempurnaan Tuhan) yang menerpa para pecintaNya. Hujan
tajalliyyat ini begitu deras menerpa, sehingga remuklah talang-talang hati,
hancurlah saluran-saluran beton “ego”, hancurlah semua bangunan kokoh yang ada
di hati. Hujan tajalliyyat yang mahaderas terus-menerus menerpa sehingga
lenyaplah semua yang ada di hati, imajinasi maupun konsepsi tersapu oleh airbah
mahadahsyat. Airbah yang tiap percik zarrahnya adalah Gambar-Gambar Wjaha
Kekasih. Airbah yang tiap-tiap buihnya adalah Luapan Kerinduan Kekasih. Airbah
yang kedahsyatannya adalah Kehendak Yang Maha Agung. “Tiada apapun di hati
kecuali Ia, Tiada Yang Maujud kecuali Ia. ”
Telah berkata Guruku YM. Mir Budi
Trisakti tentang hadirnya Sang Wajah Asmara .
“Manakala seorang raja besar datang memasuki suatu negeri dihancurkannya segala
yang ada sehingga hanya ialah yang duduk di singgasana agung dan mengatur
seagalanya dengan kebijaksanaannya.” Manakala
Ia telah hadir di hati maka tiada
lagi selain Ia, karena Ia telah menghancurkan semua yang ada di hati dan duduk
di singgasana kerajaan MahaAgung di hati kita. Jadi betapa mudah melihat apakah
Ia Ada di hati atau tidak? Sekiranya dalam detak-degup jantung kita masih
terukir hasrat untuk memperoleh kekayaan sekian-sekian, atau kedudukan yang
cukup atau wanita cantik, pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam detak-detak
kekhawatiran masing terungkap cemas-cemas akan nasib anak dan istri sekiranya
jiwa ini dipanggilNya, pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam lubuk hati masih
terbersit harapan-harapan pujian orang tua, handai taulan ataupun masyarakat
luas, pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam lubuk hati masih terbesit rasa
takut kalau daging dan tulang kita dijadikan bahan bakar neraka, pasti Ia tiada
di hati, karena dalam hati tertancap dalam sesembahan selain Ia yaitu “aku”
yang mahabusuk dan pangkal semua kebusukan. Sekiranya dalam lubuk hati
tersimpan hasrat yang amat kuat untuk beribadah agar memperoleh
bidadari-bidadari surga, pasti Ia tiada di hati, betapa kotornya memanjangkan
hasrat-hasrat birahi kita ke Alam Suci!
Wajah Asmara artinya semua adalah
wajah-Nya. Bila kita mencintai Rasul, Ahlul Bait, orangtua, istri, anak seperti
kita bayangkan menikmati cahaya lilin yang telah dipantulkan melalui berbagai
cermin atau prisma, itulah kekasihNya yang sejati! Selain Ia
hanyalah bayangan. Selain Ia hanyalah citra. Selain Ia
memperoleh keindahan, keagungan, kenikmatan, keanggunan, kebaikan dariNya.
Ia-lah yang ada di balik segenap keindahan, di balik semua keagungan, di balik
semua kenikmatan, di balik semua keanggunan, dn dibalik semua kebaikan dan
kasih sayang. Ia-lah Semua Kesempurnaan dan Keindahan, dan tiada kesempurnaan
dan keindahan apapun selain Ia. Saat hangat cahaya mentari menerpa, bukan
cahaya itu memberikan hangatnya tapi Mentari. Semua keindahan adalah
tahapan-tahapan pancaran emanasi Sang Maha Surya. Tapalah Sang Maha Surya, maka
gelaplah segala yang ada, dan hanya Dia-lah Yang Ada. Sebagaimana yang telah
diajarka oleh guruku Husein bin Mansur Al-hallaj melalui berbagai Mursyid mulia
(semoga senantiasa dirahmatiNya). “Manakala engkau pandangi tinta, huruf akan
menghilang. Makala engaki pandangi huruf, tinta akan menghilang.” Tanpa tinta
hutuf itu tiada, tanpa tinta hanyala tergeletak seelai kertas putih kosong.
Maka tataplah Rasul dan Ahlul Baitnya yang suci di pusat-pusat. Cahaya Sang
Maha Surya, ibu-bapak di salah satu pusat-pusat. KeindahanNya yang langsung
terpancar kepada jasad maupun ruh, surga sebagai sepercik pelangi di atas
pelangi di alam mayapada yang terbias dari HasrtatNya untuk memberi karunia
yang kekal pada selainnya, neraka sebagai perckan meteor Surya yang akan
melimatkan semua keburukan. Neraka adalah kasih-Nya yang sejati sebagaimana
surga adalah karunia-Nya yang abadi…, maka terucaplah untaian kata suci.
“Sekiranya Engkau kuatkan aku untuk menahan AzabMu maka betapa mungkin aku kuat
untuk berpisah denganMu, sekiranya Engkai tegarkan aku untuk menahan panasnya
nerakaMu maka betapa mungkin aku mampu untuk tiada melihat KeagunganMu …..”.
itulah rintihan PecintaNya yang paling sejati dan murni, Murid Agung dari Baginda
Rasulullah (SAWW), Imam Ali bin Abi Thalib (kw).
Dalam Nuansa, Nuansa adalah
udara-udara beserta segala cakrawala angkasa yang senantiasa menemani tanah
lempung tiada arti ini. Membiru keindahan ufuknya, meluas kelapangan
tatapannya. Sungguh hayat kehidupan kita tergantung pada elemen-elemen udara
tak tampak ini. Tiada nafas tanpa udara. Walau tidak terlihat. Sebagimana
disebutkan dalam sebuah lagu seorag Sufi besar Fariduddin Attar Naishapuri,
yang kuburnya senantiasa mewangi,
“ Dar hawayat
Mi parayam
Mi parayam
Ruze syab.”
“ Dalam udaraMu
aku terbang
aku terbang
di suatu malam.”
Udara tidak
nampak. Tapi kehidupan seluruh tubuh material kita tergantung padanya. dan
tidak mungkin kita melepaskan diri darinya. Seandainya di sekeliling tidak ada
udara, maka pasti tubuh-tubuh material ini kan segera kehilangan hari-hari
kehidupannya.
Seperti itu pula-lah keadaan-Nya. Ia
ghaib dari pandangan lahir. Tapi
Ia melingkupi semua sebagaimana
udara melingkupi tubuh ini. Ia meliputi malaikat setiap Wujud dan kehidupan
(baca: keberadaan) setiap yang maujud tergantung pada keberadaan-Nya. Subhaanalladzii biyadihi malakutu kulli
syai’in wa ilaihi turja’uun. Ketergantungan kehidupan (baca: keberadaan)
setiap yang maujud terhadap keberadaanNya jauh lebih dari ketergantungan
kehidupan tubuh material ini terhadap oksigen pada udara. Jauh sekali. Tidak
bisa dibandingkan.
Dalam Nuansa. Hijau, kuning, ungu dan
merah maupun berbagai warna-warna tajalliyyat, yang ada di hati, itulah sumber
segala kesan. Tuhan, Tuhan, Tuhan dan Tuhan maupun Tuhan yang tercermin-cermin
melalui berbagai mustika alam tujuh mengesankan kesejukan nan cerlang di
nuansa-nuansa hati, Yaa, nuansa hati. Nuansa hati tiada lain sumber segala
kesan dan geletar hati. Dalam juataan nuansa hati, hanya Ia yang Ada dan tiada selain Ia.
Maha Suci Ia yang menggolakkan hati dalam nuansa Nama-Nama-Nya. Mukmin tergolak
di antara Nama-Nama positif dan mukmin memandang nama negatif sebagai negatif.
Sedang kafir tergolek dalam Nama-Nama negatif dan memandangnya sebagai positif.
Nyala di dada. Bagaikan lensa-lensa
dan cermin-cermin, akal dari perenung menangkap berbagai bayangan Wajah Asmara,
yang tampak dalam segala nuansa. Kemana
saja engkau menghadap, di situlah Wajah Allah. Bayangan terang, Bukan
bayangan gelap. Bayangan maya, bukan bayangan nyata. Wajah Kekasih teramat
cantik. Wajah Kekasih teramat lembut. Wajah Kekasih teramat terang. Benderang
Sorot beribu, berjuta Cahaya Wajah Asmara terbias ke dalam loh-loh
(lembar-lembar) hati nan bagaikan kertas ingin menangkap Seluruh Kesempurnaan
Wajah itu. Namun seribu Wajah tergambarkan, sejuta Wajah pun datang menyorotkan
seinarnya. Sejuta Wajah tercitrakan, milyard-milyard Wajah pun makin
menyemarakkan citra-citra di hati. Ohh…, Ohh…, Ohh…, maka cahaya cahaya cahaya cahaya cahaya cahaya … tersebut
menyalalah. Menyala terang menggambarkan himpunan citra-citra Wajah Kekasih
yang bercampur dan bergolak dalam berbagai bentuk dan intensitasnya.
Terbakarlah loh-loh lembara hati tiada mampu menahan hujan cahaya tajalliyyat
tiada tara , sehingga lenyaplah satu demi satu
ia ia yang lain selain Kekasih yang termaktub di hati. Api menyala degan
terang. Dan Api nya pun merintih lirih
Aku akan membakar
Aku akan membakar
Aku akan membakar
Atau sirna……
Itulah watak
nyala api yang ada di hati. Ia adalah Buhulan Cinta. Cinta pada satu Wajah
Kekasih ditambah dengan Cinta pada Wajah Kekasih yang lain ditambah dengan
Cinta pada Wajah Kekasih yang lain ………. Tiada terbayang intensitas Cahaya Wajah
demi Wajah cahaya yang terkumpul pada Buhulan Cinta. Sampai di sini, sampailah
sang salik pada satu maqam perjalanan ruhani yang disebut maqam al-mahabbah yang dilewati setelah semua
selain ia melebur dengan sempurna karena terbakar oleh nyala api cinta yang ada
di hati.
Hati yang dipenuhi dengan nyala cinta
akan melihat berbagai bentuk (surah)
Wajah-Wajah Kekasih yang semakin lama semakin menambah gairah cintahnya.
Semakin lama semakin tindu. Semakin lama semakin dipenuhi oleh perihnya rindu.
Semakin lama semakin Indah dan Cantik Wajah Kekasih. Semakin lama semakin jauh
salik melangkah mendekati-Nya, semakin salik tiada tahu kapankah Ia akan sampai
kepada Sang Kekasih Sejati?
Cinta
menyuarakan gending-gending dan seruling
faqir
merintih rindu sembari berkeliling
Cinta meniup
lembut lembar-lembar mahkota bunga
faqir
menjeritkan harapan ‘tuk bersua
Cinta
menjanjikan kekasih yang dirindukan
faqir nanar
menangis … menangis … dan menangis
Wahai
Kekasih… Wahai Pupur dan Bedak Kesturi
Wahai Seribu
Wajah Asmara !
Laksana
semut, fawir merayapi gunung-gunung…
di kala angin
musim dingin menerpa salju-salju
O…Ratih…kaki
fawir membiru, kaku, tiada mampu bergerak
O…Ratih…di
manakah dikau harus kucari
O…Ratih…telah
kulewati Fuji
nun jauh di timur dan ratusan selat-selat berakitkan bambu
O…Ratih…kau
tiadalah ada di satu kota-kota cinta
O…Ratih…hanyalah aroma wewangian asli yang
kudapat ataulah gambar-gambar berpigura
di pasar-pasar burung
Harapan
rasaku yang tiada terjangkau…’Aliyyah Ratih
Pujaan nurani
yang maha agung…’Azhiimah Ratih
Piala-piala
anggur cinta…Waduudah Ratih
Kecantikan
tiada tara tiada terbayang…Jamiilah Ratih
Raup-raup
kesempurnaan kasih mesra…Rahiimah Ratih
Rahmat tiada
terbatas bagai samudra…Rahmaniyyah Ratih
Puja dan puji
yang sempurna….
Dimitri
Mahayana, Hud-Hud Rahmaniyyah, Syair ke-16
Maka dikatakan, orang-orang mukmin
amat sangat Cintanya kepada Allah. Cinta yang sejati dan murni Jauh dari
seluruh khayal-khayal syahwati. Cinta yang sangat. Yang bertambah sangat dari hari
ke hari. Seperti yang dikatakan di sebuah lagu
Tomorrow,
I ‘ll love You twice more
Segera setelah balik mencapai maqam al-mahabbah, Wajah demi Wajah Kekasih
yang telah bergolak dalam nyala menariknya ke dalam pusaran gravitasi Cinta
Ilahi…, sehingga menghasilkan kerinduan mahadahsyat pada Yang Tunggal Tiada
Tara. Salik akan memasuki suatu “Domain
of Attraction”, daerah di mana dirinya akan menjadi butiran-butiran mazhar
(manifestasi) yang melingkar-lingkar mendekat dan semakin mendekat pada Sang
Maha Tunggal Tiada Banding. Tak mungkin lagi salik menatapkan wajahnya selain
padaNya. Suatu kesetiaan tauhid tiada banding! Bukankah Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin As-Sajjad (a.s) telah bermunajat dalam Munajat Al-Muhibbiin;
“Ilaahi
mandzalladzii dzaaqa halaawata
mahabbatik
faraama minka badalaa
waman dzalladzii anisa biqurbik
fabtaghaa ‘anka hiwalaa.”
“Ilaahi,
Apakah orang yang t’lah mencicipi
manisnya cinta-Mu
akan menginginkan pengganti
selain-Mu
Apakah orang yang t’lah bersanding di
samping-Mu
akan mencari penukar
selain-Mu.”
Dalam perjumpaan pertama Shamsuddin
dari Tabriz dengan Maulana Rumi, Sang Matahari
dari Tabriz
menjelaskan, “Cinta adalah suatu penyakit, yang orang dihingapinya tidak pernah
ingin disembuhkan.” Ya, Cinta kepada Tuhan itu perih, Kenapa? Perih karena
rindu yang selalu menyayat, sedang Kekasih Sejati tiada terjangkau. Rindu yang
makin menyayat. Karena semakin dekat sang pecinta tertarik mendekati Kekasih
Sejati, semkain sadar sang pecinta ketakterjangkauan Kekasih dari haribannya.
Maka ‘Arif besar abad ini, Ayatullah Al-‘Uzhma Sayyid Ruhullah Al-Musawi
Khomeini telah bersyair;
“Asyiwam, Asyiqam
Marizh tu am
Ze in maraz
Ma dawa nami khoham.”
“Kasihku, duhai Kasihku
Aku sakit, karena-Mu
Dan akan sakitku ini,
ku tak
ingin sembuh.”
Satu lagi pertanda agung dari maqam
al-mahabbah ini adalah kemabukan. Betapa tidak? Nyala api Cinta nan terus
bergolak menggambarkan Milyunan Kecantikan demi Kecantikan Yang Maha Cantik.
Mulut terbelalak. Mata terpana. Syaraf-syaraf keindahan dan lokus-lokus wadah
yang memahami keindahan dalam hati tiada mampu menyaksikan ini semua.
Syaraf-syaraf pun rusak, Air Bah Kecantikan Wajah-Wajah Kekasih tertumpah dari
wadah-wadah penerima keindahan, meyerang segenap syaraf. Kecantikan Wajah-Nya
menyerbu seluruh indera-indera lahir dan batin. Maha Salik pun mabuk,
terhuyung-huyung tak tahu arah tak tahu mata angin. Tak tahu di mana, ke mana,
dan mau ke mana. Doyong kekiri tubuhnya dalam pelukan-Nya. Doyong ke kanan
tubuhnya menggapai Bedak-Nya. Bukankah YM. Guruku tercinta Maulana Rumi telah merintihkan rintihan ini?
Pernah kaulihat pecinta yang demikian
kepayang akan birahi ini? Pernah kaulihat ikan yang demikian mabuk pada lautan
ini?
Pernah kaulihat wayang yang minggat
dari pengukirnya? Pernah kaulihat. Wamiz bertobat pada Adhra?
Waktu berpisah, pecinta bagai nama
tanpa makna; namun sebuah makna seperti kekasih tak perlu nama lagi.
Kau luat, aku ikannya-genggam aku
menurut maumu; beri aku tujuan, tunjukkan wibawa raja tanpa kau aku akan
terlunta-lunta.
Raja perkasa, apa yang kurang dari
penunjuk jalan ini? Karena kau tiada, api menjulang tinggi.
Jika api melihatmu, ia pasti
menyingkir; karena itu siapa saja yang memetik mawar dari unggun api, api akan
memberi mawar yang indah mempesona.
Tanpa kau dunia adalah siksaan bagiku,
mungkin ia akan sirna bila ku tiada; demi hidup kumohon ini, tanpa kau hidup
adalah aniaya dan derita bagiku.
Bayang-bayangmu bagaikan seorang
sultan yang sedang tamasya dalam hatiku, malahan bagaikan Sulaiman ketika
berjalan menuju mesjid Al-Aqsa di Yerusalem.
Ribuan lentera menyala, tabir segala
mesjid tersingkap; surga dan Telaga Kautsar dikelilingi Ridwan dan
bidadari-bidadari.
Terpujilah Tuhan, Terpujilah Tuhan! Di
Surga ribuan bulan bersinar terang. Rumah suci ini pun di huni malaikat dan
bidadari-bidadari, hanya mereka tersembuyi dari mata si buta.
Burung molek dan bahagia itulah yang
bersemayam dalam cinta! Siapa bisa mencapai puncak gunung Qaf kecuali burung ‘Anqa?
Molek si ‘Anqa mulia, maharaja Shamsi
Tabriz! Ialah Matahari yang tak berasal dari Barat ataupun Timur, tak dari mana
pun.
Nyala api Cinta Ilahi bergolak,
membiaskan berbagai Wajah demi Wajah keindahan. Salik menatap Keindahan demi
Keindahan Kekasih. Salik menatap Keanggunan dan Haibah Tuhan. Tiap saat dan
tiap waktu. Hati salik-pun menangkap realitas segala peristiwa. Hati salik-pun
memahami Makna Keindahan di balik segala peristiwa. Semua makna yang ada di
hati salik sebelum mencapai maqam al-mahabbah akan dimaknakan ulang setelahnya.
Tiada lagi kesedihan kecuali menjadi kebahagiaan. Tiada lagi kesulitan kecuali
menjadi kenikmatan. Semua hal berubah substansi-nya, dengan sebenar-benar
perubahan. Sebagaimana dilantukan oleh Maulana Rumi;
Karena cinta pahit berubah menjadi
manis,
karena cinta tembaga berubah menjadi
emas.
Karena cinta ampas berubah jadi sari
murni,
karena cinta pedih menjadi obat.
Karena cinta kematian berubah jadi
kehidupan,
karena cinta raja berubah menjadi
hamba.
Jalaluddin
Rumi
Lenyaplah berbagai dualisme-dualisme
di hadapan sang salik. Tiada lagi pahit dan manis, semuanya manis. Tiada lagi
tembaga dan emas, semuanya emas. Tiada lagi pedih melainkan ia adalah obat.
Hilangnya dualisme-dualisme ini memasukkan salik kedalam alam monisme, alam
kesatuan, alam ketunggalan, yang merupakan negasi dari alam al-katsrah atau
alam kejamakan. Salik mulai akan masuk ke dalam daerah ketertarikan (domain of
attraction) dari Tuhan Yang Tunggal Tiada Tara, yang di dalam daerah ini, salik
akan memulai perjalanan barunya kembali menuju maqam-maqam berikutnya yang
tiada terhitung banyaknya. Jauh, jauh sekali. Betapa sedikitnya bekal dan
betapa jauhnya perjalanan. O..betapa jauhnya perjalanan dalam alam para
muhibbiin ini...
Dan segala
puji hanyalah bagi-Nya,
aku
berlindung pada-Nya dari semua ke-iblisan diriku,
tiada daya
upaya kecuali hanya dari-Nya selalu,
Wallahu
a’alm bish-showab
Renungan
4
Renungan
Fithrah Manusia
Puji kepada-Nya selalu. Sumber Segala
Yang Wujud di milyunan alam. Alam material maupun immaterial. Lahiriah maupun
ruhaniah.
Puji kepada-Nya selalu. Sumber segenap
Cahaya Rahmat dan Kesempurnaan. Yang Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Dari
keseluruhannya, dari sebagiannya maupun dari zarrah-zarrah terkecilnya maupun
yang ada di balik itu semua.
Puji kepada-Nya selalu. Yang
kekuatan-Nya mengaliri Segala. Sehingga tampak langit-langit material tanpa
tiang, dan adakah pula tiang yang terlihat bagi langit-langit Ruhaniah.
Puji kepada-Nya selalu. Yang
memancarkan dari Wujud-Nya yang Kekal Mewangi, Ruh ke dalam tubuh-tubuh
mahalemah dari tanah dan air yang nista ini. Sehingga segala yang ada di tujuh
lapisan langit keberadaan ini senantiasa menyampaikan Shawalat dan Salam kepada
Junjungan Kita, Insan-Kamil, Manusia Sempurna, Muhammad (SAWW), dan betapa para
malaikat harus bersujud kepada Kakek Kita YM, Nabi Adam (a.s).
Puji kepada-Nya selalu. Yang
memuliakan Bani Adam dengan Amanah Suci. Yang tidak mampu ditanggung oleh
langit dan bumi…Yang menunjukkan jalan-Nya kepada Bani Adam untuk melaksanakan
amanah ini dengan Nabi dan Risalah Yang Terang, dan dengan hati yang bagaikan
cermin jernih menangkap Cahaya dari para Nabi dan Wali-Wali-Nya.
Maha Suci Nama-Mu, Duhai Tuhan Pujaan
hati-ku. Duhai Tuhan Sari Cinta-ku. Duhai Tuhan segala ruang dan segala waktu.
Duhai Tuhan segala imajinasi dan yang nyata.
Maha Suci Nama-Mu, dari apa yang aku
sifatkan. Karena sungguh seluruh keterbatasan diriku yang mahalemah ini niscaya
mensifatkan sesuatu yang terbatas, dan Maha Suci Engkau. Engkau-lah Wujud
Sempurna Tiada Berbatas. Lautan Agung Kesempurnaan Tiada Tara Yang Tunggal
dalam KesendirianMu Yang Abadi.
Pena Penciptaan menorehkan satu tujuan
yang jelas bagi pencipataan jin dan manusia. Beribadah kepada-Nya. Beribadah
kepada Yang Maha Agung. Beribadah dengan sepenuh hakikat diri kita kepada-Nya.
Tuhan telah menciptakan jin dan manusia kita untuk beribadah kepada-Nya.
Maka dalam diri manusia ada sesuatu
hasrat abadi untuk mengagungkan sesuatu dan menuhankannya. Memuliakan sesuatu
dan memujinya tiada berbatas. Menalikan dirinya pada sesuatu yang kokoh dan
menggantungkan nasibnya pada sesuatu ini. Ini adalah beberapa dari unsur-unsur
yang substansial dalam ibadah. Beribadah kepada Tuhan adalah substansial dan
essensial dalam diri manusia. Tidak aksidental dan additional. Beribadah kepada
Tuhan adalah keniscayaan penciptaan suatu kemestian yang dilakukan manusia
bukan keharusan.
Karena itu jika hati manusia di suatu
saat tidak mengakui Tuhan Allah (SWT), Tuhan Yang Sebenarnya, maka pasti
hatinya tertaut pada tuhan-tuhan selain Allah. Atau manakala hati sedang
melupakan Tuhan, pasti ada tuhan-tuhan lain yang diingat selain Allah. Apakah
itu harga. Apakah itu kedudukan. Apakah itu anak. Apakah itu istri. Apakah itu
hasil karya. Apakah itu partai. Apakah itu mobil. Apakah itu keinginan-keinginan
nafsunya yang lain.
Bayangkan ada seorang Romeo yang
tengah merindukan Julietnya yang tak kunjung tiba. Lentik alis dan kecantikan
Juliet yang tiada banding tentu membayanginya setiap saat setiap waktu.
Mengganggu hati yang tentram. Menggundahkan sukma. Mencairkan wadah-wadah
airmata hati.
Betapa mungkin seorang beriman
melupakan TuhanNya, sedang ia menyaksikan kebesaran TuhanNya setiap saat dan
setiap waktu di seluruh ufuk dan cakrawala alam maupun jiwa. Dan ia tahu dengan
sebenar-benarnya pengetahuan bahwa Tuhan-lah sumber seluruh kecantikan wanita
yang tercantik maupun bidadari surgawi, sumber keindahan semua keindahan, sumbe
kasih semua yang mengasihi. Ia tahu bahwa Ia lah yang Maha Indah, MahaAgung,
MahaCantik (Al-Jamiil), MahaKasih,….Betapa mungkin seorang berimana menegasikan
satu interval pendek waktu hidupnya dengan hati yang lupa kepadaNya?
Yaa, sungguh hanya dengan berdzikir
pada Allah-lah, hati menjadi tentram. Sebagaimana bayi dicipta untuk merintih
kehausan, maka tatkala ia menemukan tetek ibunya kembalilah ia dalam
ketentraman. Begitu pula fitrah manusia senantiasa merindukan Nama-Nama Allah.
Marilah kita akhiri acara ini dengan
doa bersama;
Yaa Allah, sungguh kami adalah hambamu
yang dhoif, hina dan terhina, yang fakir dan miskin dihadapanMu.
Yaa Allah, duhai Tuanku, duhai
Kecintaanku, dan DambaanKu
Sungguh hati kami telah bertabir
Dan jiwa kami berkekurangan
dan Akal kami tertipu
dan hawa nafsu kami telah menipu
dan ketaatanku kepadaMu sedikit
dan kemaksiatanku banyak
dan kini lisanku mengakui semua dosaku
ini
Maka bagaimanakah dengan seluruh
keadaanku ini,
Duhai Yang Menutupi Semua Keburukan
Dan Duhai Yang Mengetahui Semua Yang
Ghaib
Dan Duhai Yang Menyingkapkan Semua
Kesulitan
Ampunilah dosa-dosa ku
Seluruhnya
Dengan kehormatan Muhammad
dan Keluarga Muhammad
Wahai Yang Maha Pengampun-
Wahai Yang Maha Pengampun-
Wahai Yang Maha Pengampun-
Dengan rahmatMu, Duhai Yang Paling
Pengasih dari semua yang pengasih.
Allahumma sholli
‘ala Muhammadin, wa aali Muhammad.
Renungan
5
Renungan
Masa Depan Dunia dan Agama
Wahai Yang menunjukkan DzatNya
dengan DzatNya
dan jauh dari segala keserupaan
dengan Makhluq-Nya
(Imam
Ali bin Abi Thalib a.s)
1. Akar Problema
Dari kotak itu, muncul gambar Madonna
sedang di shoot dalam keadaan over-sensual, atau yaa katakanlah, maaf-maaf,
lengkap melambangkan syahwat raja kuda yang paling perkasa. Maka runtuhlah
akal-akal orang yang melihatnya. Jelas, karena menurut Aristoteles, manusia
adalah hewan yang berfikir, runtuhlah akal-akal orang yang melihatnya. Jelas,
karena menurut Aristoteles, manusia hewan yang berfikir, runtuhnya keberfikiran
membuatnya mengalami transformasi menjadi hewan.
Dari kotak itu pula, pada acara Dunia
dalam Berita, tersungkur Muslimin yang mazhlum di Bosnia maupun di Cehnya, dengan
segenap darah dan raut-raut wajahnya. Ia membuat hati demi hati, -yang masih
memiliki cahaya walau amat redup-, menyala bak mata naga, ataupun besi yang
dipanaskan hingga meleleh, mata naga kemarahan. Besi memerah yang hancur karena
diremukkan oleh “rasa satu tubuh-rasa satu hati”, persaudaraan Muslimin yang
tumbuh subur di hati tiap Mukmin.
Telekomunikasi mutakhir membuat cross-cultural transformation, cross
problematical transformation, cross-political transformation merambah dan
tumbuh berkembang pesat. Jelas globalisasi mengarah pada pembentukan satu
“bangsa global, -qoum global-“. Dunia. Minimal secara kultural. Tidak menutup
kemungkinan secara politis. Mohon maaf, sesuai dengan tema, al-faqir tidak akan
mendiskusikan globalisasi politis karena ini memerlukan suatu analisis
kekuatan, analisisi perkembangan historis, maupun mungkin analisis-analisis
lain yang perlu.
Syahid Murtadha Mutahhari dalam
Masyarakat dan Sejarah-nya maupun Syahid Muhammad Baqir Sadr membuktikan bahwa
masyarakat, -dapat dipandang suatu Individu. Sebagaimana individu mempunyai
dosa dan pahala, masyarakat mempunyai dosa dan pahal. Sebagaimana individu
mempunyai agama dan keyakinan, masyarakat pun mau tidak mau mesti (niscaya)
mempunyai Agama dan Keyakinan. Individu mempunyai aspek material maupun
spiritual, demikian pula masyarakat. Jelas terdapat hubungan antara aspek
material maupun spiritual individu maupun masyarakat. Sebagai contoh sederhana,
OKB (Orang Kaya Baru) mengalami perubahan aspek material drastis, -dan betapa
sulit menjadi OKB tanpa mengalami degradasi spiritual. Kemajuan drastis aspek
material masyarakat yang disebabkan penerapan Saintek membuat masyarakat dunia
menjadi MKB (Masyarakat Kaya Baru). Degradasi spiritual MKN nampak jelas dengan
maraknya prostitusi dan tempat-tempat maksiyat di kota-kota industri yang kaya.
Ini pula yang mungkin membuat Ulama Madura “kurang sreg” dengan industrialisasi
masyarakat Madura?
Lebih tepat lagi adalah dua analisis
peran orang-orang yang beragama dalam menentukan Agama Dunia-Pasca Globalisasi.
Silogismenya sederhana. Karena masyarakat mesti punya Agama, sedangkan
kenyataan terdapat banyak agama, maka ada beberapa kemungkinan. Masyarakat akan
memilih salah satu agama yang ada sebagai Agamanya. Atau, masyarakat akan
melakukan sinkretisasi beberapa agama yang ada dan memilihnya sebagai Agamanya.
Atau, masyarakat akan menghasilkan “agama baru” yang dipilih secara sadar
sebagai Agamanya. Sebelumnya saya mohon maaf, dalam makalah ini saya
menggunakan pengertian agama dalam arti luas (sebagai terjemahan dari ad-diin),
sehingga bagi semua pihak yang menggunakan pengertian agama dalam arti sempit,
harus ada re-definisi dan re-konvensi makna-makna semantik sebelum melanjutkan
diskusi kita. Dalam pengetian ini komunis, -atheis pun beragama, agamanya tidak
lain adalah atheisme itu sendiri.
2. Buih-Buih di Lautan
Dalam model ini, masyarakat global
dimodelkan sebagai lautan, transformasi budaya global dimodelkan sebagai
gelombang lautan, dan orang-orang yang beragama dimodelkan sebagai buih-buih di
lautan. Gerak pertumbuhan dan perkembangan masyarakat global ditentukan oleh
gelombang globalisasi itu sendiri. Saintek jelas berubah-waktu, maka Agama
masyarakat pun berubah waktu. Dan teriakan-teriakan pada Ahli Dakwah hanyala
seperti tetes-tetes zat warna yang diteteskan ke dalam lautan.
Dalam model ini, agama hanyalah
aksiden, dan tidak bisa menjadi substansi. Misalnya pun kita bayangkan
bermunculan milyaran ahli dakwah. Sebagaimana halnya bisa kita bayangkan jika
seluruh permukaan laut dipenuhi buih. Buih tetap buih. Secara fisik ia tidak
mempuntai potensi untuk mengubah gerak laut. Segera saja gelombang demi
gelombang akan menelannya. Keberadaan buih niscaya diikuti oleh ketiadaannya
ditelan gelombang lautan. Hari ini X mendengar ceramah Jum’at. Sebelumnya tadi
pagi X melihat aurat-aurat “megal-megol” dalam Senam Healthy Suplerhealthy
Superstar Supersexy Supermodern Superuptodate…..Aerobic, pulang mampir nonton
film semi-porno super-vulgar dan pulang nonton memperkosa dan membunuh cewek?
Anak TK sudah bisa berzina? Ceramah subuh? Ceramah Tarwih? Pengajian? Bagai
buih di lautan. Sekali buih tetap buhi. Analisis filosofisnya amat sederhana.
Buih hanyalah aksiden temporal lautan. Aksiden bukanlah substansi. Sifat
temporal ekstrim menyebabkan buih tak akan menyebabkan perubahan substansi
lautan sampai kapanpun.
3. Pusaran Cahaya Rahmat
Analisis peran kedua ini memodelkan
kebenaran dan Kebahagiaan Puncak sebagai satu cahaya lilin yang exist, dan unique. Sedang puak-puak bangsa dan ummat manusia adalah seperti
laron yang mencari kebahagiaan. Sedang orang-orang yang beragama, -atau lebih
tepatnya orang-orang yang beragama dengan benar-, adalah bagai kupu-kupu yang
telah menyatu dengan Kebenaran dan Kebahagaiaan Puncak ini. Sehingga tanggallah
ke-laronannya dan berpendarlah cahaya lilin kebahagiaan dalam dirinya. Mereka
menjadi imitasi-imitasi cahaya lilin kebahagiaan. Sehingga laron-laron pencari
kebahadiaan berkitar-kitar mengorbit dengan indah dan harmonis terdapat
pusatnya yang tunggal. Mengorbit secara eksistensial bukan secara fisik.
Pusatnya yang tunggal adalah Kebenaran dan Kebahagiaan Puncak, Tuhan Yang Maha
Rahman. Sehingga laron, kupu dan Tuhan jadilah satu, jadilah suatu Masyarakat
Global Ilahi. Satu masyarakat yang harmonis yang mengikuti jalan-jalan (tao)
yang mendatangkan rahmat.
Rahmat tersebar di mana-mana. Seolah
langit terbuka dan menyiramkan badai rahmat sampai orang tidak dapat melihat
apa-apa lagi kecuali Rahmat ada di dalam, di luar dan menyertainya baldatun
thoyyibatun wa rabbun ghafuur. Keadilan Tuhan tegak di muka bumi. Satu kesatuan
global budaya (NB; mungkinkah juga politik?) dunia. Dunia yang ilahiah. Bukti
bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia dan alam ini dengan sia-sia. Mustahil Ia
melakukan sesuatu yang sia-sia. Maha Suci
Ia dari seluruh apa yang
disangkakan makhluqnya yang bodoh/
Saintek, -terutama dengan teknologi
komunikasi dan transformasinya-, merupakan infrastruktur material yang
men-support penyebaran rahmat kupu-kupu cahaya agama ke seluruh bagian dari
dunia, pandangan yang lebih ekstrim lagi mengatakannya, itu syarat perlu
(necessary condition) bukan lagi sekadar support. Globalisasi material
dispiritualisasi sempurna. Atau lebih optimis lagi, di Islamisasi sempurna?
Apakah itu yang disebut dengan abad Mahdi?
Karena itu, sebutlah analisis peran
ini sebagai satu cabang yang mungkin dari Mahdism Futurology. Dalam futurologi
ini, agama memiliki peran yang substansil dalam globalisasi. Tidak aksidental.
Tidak pula temporal ekstrim. Tapi ia bisa disebut temporal dalam artian bahwa
semua yang ada di dunia ini pastilah akan lenyap. Sehingga karena itu, jika
kita bisa menempatkan peran kita dengan pertolonganNya dan petunjukNya
sebagaimana model masa depan ini, Islam akan menjadi Substansi Masyarakat
Global Dunia. Bagaimana cara kita menempatkan peran kita? Mari kita bertanya
pada para Ulama kita YM. Dan aku berlindung dari semua kedhoifan ucapan yang
muncul dari fikiran yang lemah dan bathil ini, dan sungguh-sungguh Segala Puji
hanyalah bagiNya selalu. Kuakhiri tulisan ini dengan mengharap keberkahan
Sholawat Nabi YM.
Renungan
6
Surya,
Rembulan dan Lilin Kecil
telah berkata
Guruku YM, Maulana Rumi;
“Karena cinta pahit berubah menjadi
manis,
karena cinta tembaga berubah jadi emas.
Karena cinta ampas berubah jadi sari
murni,
karena cinta pedih menjadi obat
Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan,
karena cinta raja berubah jadi hamba”
Yaa,
Cinta merupakan kekuatan mahadahsyat yang siap meremukkan segala sesuatu selain
Kekasih. Ia adalah sari segala gerak dan harmoni semesta. Semesta yang
berputar-putar dalam tarikan pusaran Sang MahaGravitasi, Pusat-Pusat Cinta
segenap makhluk. Cinta adalah salah satu rahasia-rahasia dari Dzat-Nya. Apakah
Cinta itu? Tiada kata, tiada pena, tiada ungkapan, tiada lirik apapun yang bisa
menggambarkan Apakah Cinta. Hanyalah seperti asap-asap yang terbang menghilang
dalam taufan, kata hanyalah mampu mengungkapkan satu sisi-sisi kecil dari
keagungannya.
Tentang Cinta
Ilahi, Sang Maha Surya, telah berkata Guruku YM Sayyid Musa Al-Kadzim Al-Habsyi
bahwa telah bersyair Imam Khomeini,
“Asyiwam,
Asyiqam
maridh tu am
ze in maraz
ma dawa nami khoham.”
“Kasihku, duhai Kasihku
Aku Sakit, karena-Mu
Dan akan Sakitku ini,
ku tak ingin sembuh.”
Cinta adalah
Sakit dan Perih. Tapi PeCinta tak ingin sembuh dari Sakitnya. Sakit karena
Rindu akan Kekasih nan tak kunjung tiba. Sakit karena Api Hasrat akan
perjumpaan dan pertemuan dengan Kekasih. Sakit karena Kekasih demikian Mulia,
Agung, Suci, Tinggi, Maharani, Mahaanggun, Maha …., tiadalah pantar al-faqir
menyentuh batas-batas terluar yang paling jauh dari Hadhirat Kekasih.
Tentang Cinta
kepada Nabi Muhammad, Rembulan Asmara, Cermin Kesempurnaan Tuha, Makhluq Yang
Paling Smepurna, al-faqir yang dhoif ini bersyair;
menatap Muhammad buhulan rindu
tiada lidah yang tak kelu
tiada zarrah yang tak lebur
tiada alam yang tak lenyap
tiada mentari yang tak malu
tiada bintang-bintang yang tak
bergetar-getar menahan segenap kelipnya
merintih akulah geletar cahaya
Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
aaakulahh geletar cahaya Muhammad
dan tiada pula awan yang tak
berarak-arak menanti pertemuan dengan Mu,
duhai Muhammad …
Cinta kepada
Nabi Muhammad (SAWW) adalah identik dengan Cinta kepada Tuhan. Karena Muhammad
(SAWW) adalah Kekasih Tuhan. Apa yang dicintai Muhammad (SAWW) dicintai oleh
Tuhan. Apa yang dimurkai Muhammad (SAWW), dimurkai oleh oleh Tuhan. Nabi
berakhlaq sempurna, berjiwa amat mulia, berwajah paling indah dan tampan.
Tiada-lah satu percik zarrah apa pun dalam lahir dan batin Nabi, maupun dalam
tujuh lapisan alam dalam semesta Nabi melainkan dipenuhi dengan segenap
Keindahan, Keagungan dan Ridho Tuhan. Mukmin adalah orang yang mencintai Nabi
lebih dari mencintai dirinya sendiri, dan mencintai Keluarga Nabi lebih dari
mencintai keluarganya sendiri. Sholawat sejahtera atasNya selalu.
Di dunia ini,
tiada mungkin kita bertemu dengan Kekasih Sejati, Sang Maha Surya, Tuhan Yang
Maha Agung. Tiada pula mungkin kita bertemu dengan Rembulan Asmara, buhulan
cinta para Wali dan hamba yang taat, Muhammad (SAWW). Tapi bagi hamba yang
dikaruniai penglihatan indah, tiada lain segenap zarrah di semesta adalah
biasan-biasan Rahmat dan Sentuhan Kekasih Yang Maha Agung. Di antara
zarrah-zarrah tersebut, ada lokus-lokus Cinta yang paling terang, adalah Kasih
Orang Tua dan Cinta maupun Birahi antara Laki-Laki dan Wanita. Al-faqir
menyebut lokus-lokus ini sebagai Lilin-Lilin Kecil. Manakala aku menatapi
lilin-lilin kecil ini aku teringat akan Cahaya Sang Maha Surya, Manakala aku
menikmati keindahannya, aku teringat akan biasan-biasan Cahaya Sang Maha Surya.
Suami/Istri adalah ladang-ladang kasih, ladang-ladang asmara , tempat al-faqir menanam benih-benih
Cinta, dan melatih untuk merasakan pedih sekitnya Cinta. Ladang-ladang
kenikmatan maupun pengorbanan, pertemuan maupun kerinduan.
sepercik terang lilin dalam kelam,
saat tiada Surya maupun Rembulan
melepas setitik rindu dan dahaga
akan Kekasih Sang Maha Agung, Sang
Maha Surya
dan Rembulan MahaCantik, MahaIndah,
Muhammad
Menatap
lilin-lilin kecil adalah Kehangatan. Mengurangi Silau-Silau jika kita langsung
menatap Surya. Menatap lilin-lilin kecil adalah Kenangan. Mengenang Kekasih
Mahacantik Mahaanggun Mahamesra, Alla ‘Azza wa Jalla dan Cerminannya Yang
Azali, Muhammad (SAWW).
Aku pun mabuk dalam hangat cahaya
lilin-lilin kecil
merah kekuningan nan bergoyang
lamban bak taburan manik-manik asmara
menggerakkan jutaan nuansa bayangan
dan bintang-bintang pemabuk
Tiada sadar, tiada keluh, tiada
kesah, tiada desah,
tiada detak-detak hati,
tiada pula awan beranak mendung
Jernih, Bening kutatap nuansa yang
bergoyang dalam Lautan Tajalli
Aku pun mabuk dalam nuansa tarian
lilin-lilin Tajalli,
Lilin-Lilin merasuk bak Anggur
Lilin-Lilin Yang Indah bak Lailah
Lilin-Lilin menari bak Zakiyah
Lilin-Lilin menangis gembira
Lilin-Lilin melengking merdu
Lilin-Lilin Asmara
Puncak Kemabukan Orang-Orang Tuhan
Lilin-Lilin nan tiada membuat dahaga
tapi membakar kerongkongan Perindu
Tuhan
tetes demi tetes Cairan Putih Suci
terbakar dalam Api Cinta
Cairan Yang memabukkan, itu lah aku
aku demi aku yang kepayang
menetes lenyap dalam kegelapan malam
lebur dalam keindahan Api,
Gincu-Gincu Kekasih nan merona merah
aku demi aku keram dalam ketiadaan
menatapi Tajalli demi Tajalli,
Keindahan
Api lilin nan merona merah kekuningan, Rona-Rona Kekasih bertahtakan manik
munri keemasan,
Ooo, aku telah mabuk dan Terbakar
Ooo, aku telah mabuk dan Terbakar,
Sirna dalam Fana
Ooo, Sang Mahafana, mahafana,
mahafana,…
dengan AsmaNya Yang Maha Tinggi
Dia memandang, aku tersipu
Aku memandang, Ia pun tersipu
memalu dengan pipiNya Yang Memerah Jambu
O…, Duhai
Ia Yang Mahamalu dalam Puncak
Keanggunannya
Kusentuh lentik bulumataNya,
Ia belai rambutku terberai,
Airmata dalam senyuman
Dengan sejuta makna dan cita
Citra itu memancaran Hujan pelangi di alam mimpi,
dalam alunan “bulan madu di atas awan”
dan jutaan zarrah langit nan senantiasa membiru,
dalam kelapangannya aku bercumbu dengan mesra,
Sedang Kekasih Nan MahaCantik memamerkan merah
rona pipiNya, dengan Wangi-Wangi azali yang,
meleburkan segenap zarrah dan mengguncang
Aku
pun duduk bertelekan Awan-Awan putih nan menyelimuti ku dari segenap tatapan
dunia
maupun menyembuyikan aku dari khayalan hasrat-hasrat
yang tertidur di alam mimpi,
Segelas Anggur nan kuteguk, Anggur tetes airmata
kerinduan Kekasih,
Kureguk cukup satu tegukan, dan Mabukpun menjalar ke
segala bagian-bagian terlembut dari jiwaku,
Bak keledai lupa akan kepalanya aku terjerembab dalam
lorong-lorong pusaran Cinta mahadahsyat,
Di tiap relung kutemui Berjuta Wajah Kekasih Rupawan,
menyanyikan lagu cinta dan dahaga,
dan dahaga,
Dalam setiap tetes kedahagaannya terdapat Samudera,
Yang menyegarkan jutaan kedahagaan baru…
Ohh, Ohh, Ohh, jangan begitu Duhai Kekasih, …
Ohh, Ohh, Ohh, janganlah malu Duhai Kekasih, …
Seiring serunai jagung menyiulkan lara keterpisahan, …
Serentak aku memasuki jutaan persatuan, yang
masing-masingnya menyantikan ribuan nyanyi perpisahan baru, …
Sejengkal saja dari mata tapi ada jutaan, milyaran,
trilyunan, trilyun-trilyun…, tak hingga titik yang harus dilalui, Dan tiap
titiknya mengandung rahasia-rahasia Wajah Kekasih nan rupawan,…
Ohh, Ohh, Ohh, Nur melesat kembali ke asal tempat
segala bermuara,
Ohh, Ohh, Ohh, kutatapi Ceralng Wajah Muhammad buhulan
Asmara, melalui NurNya, Nut itu, Nur itu, Nur itu,
Betapa mungkin ini kutuliskan, Tanpa Pancungan
KekasihKu, Yang Maha Agung…?
Duhai nuansa, awan dan segala dahaga yang tersimpan
dalam hujan-hujan Tajalli …
Duhai hati, rasa dan segenap Cinta yang tersembunyi
rapat dalam tiap cinta-cinta …
Duhai kekasih, dan segala WajahMu yang Engkau
sembunyikan dalam tarabir tarabir tiada terhingga ……..
Darah pun tertumpah
Dari percik-percik darah Al-hallaj,
Melarik ke awan dan langit yang biru
Laa ilaaha Illa Allah,
yang asli tanpa cela, tanpa ragu, terang benderang
dalam naungan bendera Asmara ,
Mengguncang sungai
Laa ilaaha Illa Allah,
yang mengalirkan semua air dari hulu ke muara,
yang mengalirkan Semua dalam Jalan, Tao, yang benar
Mengguncang segala,
Laa ilaaha Illa Allah
yang senantiasa memancar dalam iluminasi segala,
Iluminasi wujud azali, tiap saat, tiap waktu, tiap
percik, tiap ruang, dan tiap segala yang tak bisa diungkapkan dalam waktu
ataupun ruang ……
Diam dalam Ketunggaln Tiada Taranya,
Laa ilaaha Illa Allah
nan hanya diketahui olehNya dalam tahap pertama setelah
kegaibanNya terhadap diriNya sendiri, Akal Segala, Akal Mahasempurna,
Muhammadar Rasulullah,
Syahadat sempurna………
Tertuliskan dengan Laa merah muncrat dari hati,
Dan bertahtakan lengkap syahadar memerah sukma,
Darahpun menetes menuliskan Saksi demi saksi
KetunggalanNya……, Syahid Husein bi Mansur Al-Hallaj,…..,
Renungan
7
Imaginasi
Teofanik : Imajinasi Penciptaan
menatap Kekasih buhulan rindu
lidah tertetak menjadi kelu
orok merah berari membiru
labuan bunda kaku membatu
Hud-Hud Rahmaniyah, syair ke-dua
O.
Prolog
Apakah di surga itu ada warna dan
bunyi sebagaimana di dunia ini? Demikian, kami sibuk berbincang saat bis malam
Bandung-Surabaya yang saya tumpangi beserta Sayyid Musa menyusun
silogisme-silogisme menghadapi tikungan-tikungan Sumedang yang amat tajam
tersebut. Setajam itu pula, terulur kilauan-kilauan berlian argumentasi dari
akal Sayyid Musa, -pancaran hikmah-, yang mengiris-iris semua kegelapan
sehingga terang teofani mengatasi segala yang ada!
“Pertama, warna dan bunyi, ditinjau
dari sebab-sebab materialnya jelas tidak ada di surga. Mengapa? Karena warna
dan bunyi di alam fisik ini ditimbulkan oleh gelombang-gelombang dengan besar
amplitudo tertentu, yang pasti-pasti terbatasi oleh ruang dan waktu. Artinya
mereka bersifat material. Sedang surga pasti-pasti adalah suatu yang bersifat
spiritual (immaterial),” begitu ujar Beliau.
“Tapi Paduka,
apatah nan hendak kuucapkan tentang
pelangi-pelangi nan dengannya Ia
kecup bibir-bibir hatiku
atau dengan simfoni yang kemarin
dinyanyikanNya?
hijau biru Kubah Raja nan senantiasa
nanar kutatapi?”
demikian
aku menjawab pada Beliau.
“Oh…, budakku yang setia, pemilik
ukuran yang mahafakir,…, warna dan bunyi, sekiranya kita pandang secara hakiki
adalah sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sebab-sebab material. Artinya
sebab-sebab material timbulnya warna dan bunyi, -seperti panjang gelombang,
frekuensi gelombang, kecepatan gelombang, mata, syaraf dan lain-lain-, hanyalah
merupakan bagian dari syarat cukup (sufficient
conditon) timbulnya warna dan bunyi. Dan sekali-kali bukanlah merupakan
syarat cukup itu sendiri, apalagi syarat perlunya. Apa buktinya? Dalam mimpimu
yang kauceritakan itu, engkau jelas-jelas menatap warna dan bunyi. Engkau
menatap keindahan Istana Kekasih di balik awan, dan Ia pun menyanyi untukmu
dengan teramat merdu. Bukankah dikatakan Nabi Daud merupakan peniup seruling di
surga?”
“Selain itu, oh…, budakku yang penuh
semangat dalam memerangi kebodohannya, …, sekiranya engkau memerlukan bukti
yang lebih akurat secara filosofis, apakah warna itu secara obyektif ada pada
cahaya ataukah merupakan suatu hal yang hanya ada secara subyektif? Demikian
pula apakah bunyi itu obyektif atau subyektif pada gelombang suara? Jelas-jelas
ia bersifat subyektif, -tidak obyektif. Kenapa? Bagi seorang buta atau tuli,
keberadaan obyektif gelombang cahaya atau suara tidak mengharuskan keberadaan
obyektif warna dan bunyi.”
“Jadi warna dan bunyi itu subyektif.
Ia memiliki suatu keberadaan obyektif dalam alam subyektif orang yang melihat
dan mendengarnya. Jadi cahaya dan gelombang suara di alam fisik ini tidaklah
merupakan sumber satu-satunya tampaknya warna maupun terdengarnya bunyi,”
demikian Sayyid menjelaskan panjang lebar.
“Jadi, Paduka
apakah itu hijau dan biru yang
kunikmati sejuknya dalam mimpiku,
ataupun “The Ancient Melody” yang
kudengar sampai aku menggeletar dalam puncak kerinduan dalam mimpiku itu, duhai
Sayyid – ku YM.”
Tanyaku
sembari mengagumi bekas-bekas cahaya sujud dan tafakkurnya yang menjulang
Langit.
Beliau pun menjawab
sebagaimana bersya’ir lirih;
“Itulah tempat hamba mungkin
menyentuh Maha Rani,
tempat Muhsin terkapar penuh lara,
dalam buaian pelangi di atas awan,
Itulah tempat aku senantiasa bertemu
dengan Kakekku YM, Ali (a.s, k.w)
dan menciumi hikmah-hikmahnya.
Itulah
Imajinasi Teofani. !”
1. Imajinasi Teofani : Imajinasi
Kreatif
Sebagaimana kausalitas menunjukkan,
-sejelas mentari di siang bolong-, alam-alam yang lebih tinggi itu pula hasrat
ilahiyah dalam diri manusia menembus dan menyaksikan alam-alam itu. Secara
filosofis alam-alam itu adalah alam-alam yang memiliki derajat prioritas lebih
tinggi dari alam material kasat indera ini. Lebih tinggi dalam artian suatu
sebab yang mendahului akibat. Secara fitrah-akliah-qolbiah alam-alam itu lebih
menarik jiwa manusia dari pada dunia fana ini.
Keteraturan bumi dan planet-planet
mengitari matahari membuat para ahli fisika menembus dan menyaksikan eksistensi
hukum gravitasi yang menjadi sebab dari keteraturan itu. Sebuah lukisan indah
membuat orang-orang yang dapat mengapresiasinya ingin berjumpa dan mengenal
lebih lanjut pribadi pelukisnya. Amat sulit di sini memisahkan antara hasrat
rasional yang selalu dituntun oleh kausalitas dan prinsip non-kontradiksi logis
dan hasrat irasional yang selalu dituntun oleh gerakan mekar wangi bunga-bunga
hati yang semerbak rancak dan senantiasa mewangi.
Kini, ketika abdigakir ini sedang
berusaha merasionalisasi kumpulan-kumpulan pengalaman ini, dalam imajinasi saya
ada seorang penari wanita bergelayutan mesra di cabang-cabang mawar dan membuat
saya mabuk … mabuk dan mabuk … Saya tak tahu apakah saya saat ini berfikir atau
bermain simfoni. Saya tak tahu apakah saya saat ini sadar ataupun mabuk.
Kemabukan spiritual karena terang dan
lembutnya selarik kecil dari Cinta Tuhan yang dikaruniakan kepada kita, mengangkat
kita ke suatu alam-alam lain. Pada alam-alam tersebut ada pandangan,
sebagaimana kita dapat memandang di dunia. Pada ruang-ruang tersebut ada
pendengaran, sebagaimana kita mendengar di dunia. Cinta Tuhan menarik manusia,
baik lahir maupun batinnya, dan segenap
indera dan persepsinya, ke alam-alam yang lebih tinggi… Alam yang kurang
obyektif jika dilihat dari obyektifitas alam material, tapi sebenarnya adalah
alam yang lebih obyektif jika dilihat dari Obyektifitas Mutlak, Kebenaran Yang
Maha Tunggal.
Kemabukan ruhaniah yang membawa
manusia ke dalam sari kecanduan Cinta Ilahi ini di saru sisi melenyapkan
kesadarannya dalam dunia ini, tapi di sisi lain memberinya kesadaran yang
hakiki tentang hakikat dunia dan segala yang ada ini.
Sentuhan putik benih-benih berseri
Keceriaan pemabuk dalam tarian bintang perumpamaan
Ia belah ujung-ujung kelipnya dan dirajutnya
menjadi
manikan murni keriangan
menjadi
jantung, darah dan airmata
menjadi
lentera gemilang bak pelangi dalam tetes-tetes embun
atau
mentari yang sejuk
O…Syaki, pemilik anggur-anggur yang mematikan
elang-elangmupun telah membunuh
jiwa-jiwa yang bagaikan ayam mengais-gais tanah
maka kupinta racunmu dengan segera
agar rindu tiada lagi menyayat
Cincin
cendana tanda kematianpun kau berika
Senyum
bahagia sang peminum racun
Hari-hari
yang cerah telah tiba
Apa itu teofani? Teofani adalah tajalli
Wujud Yang Maha Mutlak tiada tertara
tiada berbanding tiada berbatas apapun walau hanya Nama-Nama. Nama tiada
membatasi wujud, ia hanyalah satu penyebutan Wujud itu sendiri. Tiada selain Wujud Yang Maha
Mutlak ini. Selain Wujud Yang Maha Mutlak ini hanyalah ketiadaan mutlak
(al-‘adam al-muthlaq, atau nothingness).
Hakikat Zat-Nya tiada lain adalah WujudNya yang tiada lain adalah wujud itu
sendiri. Tunggal, tiada terhitung luas, tiada berbatas. Besar, tiada tersifati
dengan sifat apapun. Tunggal, tiada terhitung karena dua-nya tidak pernah ada,
dan tidak ada dua, tiga,… yang mendampinginya dalam apapun. Tunggal tiada tara dalam KesepianNya yang azali. Inni usyhiduka wakafaa bika syahiida, … Aku bersaksi tentangMu dan
cukuplah Engkau sebagai saksi. Cukuplah Wujud sebagai saksi atas Wujud. Karena
selain wujud adalah ketiadaan muthlaq. Cukuplah keberadaan sebagai saksi atas
keberadaan. Karena apa yang bisa memperjelas keberadaan? Saksi atas keberadaan
diriNya (existence in-itself), saksi atas ketunggal diriNya (ahadiyyul ma’na),
saksi atas kesempurnaan diriNya (yang Wajib sedang segala selain Ia mungkin,
atau dengan kata lain, yang Ada
sedang segala selain Ia tidak ada).
Creatio
ex nihilo, penciptaan segala yang ada dari nothingness (ketiadaan muthlaq), adalah mustahil. Karena jika ini
mungkin, maka ada Penciptaan (Khaliq), dan “ada” nothingness (ketiadaan muthlaq) dan adan makhluq yang diciptakan
oleh Khaliq dari nothingness
(ketiadaan muthlaq). Sedang ketiadaan muthlaq itu benar-benar tiada ada
sehingga tidak memiliki efek apapun. Jadi makhluq apapun diciptakan Khaliq
tidak membawakan efek apapun dari nothingness.
Artinya “tidak ada” nothingness yang
merupakan unsur penciptaan atau mudahnya ketiadaan itu benar-benar tidak ada
apa-apa. Kalau “ada” ketiadaan muthlaq yang merupakan unsur penciptaan berarti
ada bisa identik dengan tiada, dan ini merupakan kontradiksi.
Tajalli bukan creatio et nihilo. Kesedihan Tuhan Yang Maha Wujud dan tidak ada
yang wujud kecuali Wujud ini digambarkan dalam frasa berikut : “Aku adalah
Perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin dikenali. Karena itulah Aku
mencipta, agar Aku dikenali”. Frasa ini merupakan kesedihan dari Nama-Nama Tuhan
yang ada dalam peti-peti ketidaktahuan. Ketidaktahuan karena tidak ada yang
menamakan Nama-Nama tersebut. Tidak ada yang mengenali Nama-Nama tersebut.
Tidak ada yang menyebut Nama-Nama tersebut. Kesedihan ini terwujud dalam bentuk
Nafas Ilahian (tanaffus) yang tidak lain adalah Kasih (Rahmah) dan eksistensial
(ijad), dan yang dalam dunia misteri adalah kasih Wujud Tuhan dengan dan untuk
DiriNya sendiri, yaitu, untuk Nama-Nama-Nya sendiri.
Nama adalah pandangan kepada Wujud
dari satu sudut pandang tertentu. Wujud adalah Ar-Rahman. Wujud adalah Ar-Rahim.
Wujud adalah Al-Lathiif. Wujud adalah
Al-’Azhiim. Wujud adalah Al-Aliyyu. Ar-Rahman adalah Ar-Rahiim adalah
Al-Lathiif adalah Al-‘Azhiim adalah Al-‘Aliyyu. Dan Dialah Wujud Al-Muthlaq . dzat Tuhan tidak bisa
dibatasi oleh apapun dan tiada terbatas. Sebagai suatu contoh mudah, karena
keterbatasan mata kita, maka tidak mungkin kita memandang seluruh aspek sebuah
rumah dari segala sudut pandang pada saat yang bersamaan. Jika kita memandang
dari atas kita sedang memandang rumah. Jika kita memandang dari samping kita
sedang memandang rumah. Jika kita memandang dari penjuru atas kita sedang
memandang rumah. Maka ada yang disebut tampak atas, tampak samping, dan
lain-lain. seperti itualh Nama. Segala sesuatu selain Tuhan terbatas, minimal
oleh kekuasaan Tuhan yang menciptanya. Keterbatasa itu esensial. Hakiki. Hakiki
dalam artian yang paling dalam dan tidak berubah dan tidak pernah akan berubah.
Keterbatasan esensial segala sealin Zat Tuhan membatasi secara esensial
pandangan dari segala keapda Zat Tuhan melewati Nama-Nama. Nama-Nama inilah
yang masih mungkin di “pandang” oleh segala selain Zat Tuhan. Hanya Nama,
sekali lagi hanya Nama. Bukan Zat Tuhan itu sendiri.
Betapa tidak sedang Kekasih Allah.
Makhluq Allah Yang Paling Sempurna di sekalian alam Rasulullah (S.A.W.W) yang
mulia telah bersabda :
“Kami tidak mengetahui Engkau sebagaimana
seharusnya Engkau diketahui. Kami tidak menyembah-Mu, sebagaimana Engkau
seharusnya disembah.”
(40 Hadist, Imam Khomeini, Buku
Pertama, Mizan, Cetakan Kedua, 1993, hal 70)
Tajalli adalah penampakan/manifestasi
Nama-Nama Tuhan. Seluruh makhluq yang tercipta tiada lain adalah manifestasi
Nama-Nama Tuhan. Wujud Mutlak bagaikan Mentari yang memancarkan Cahaya
Keberadaan kepada berbabagai Nama-Nama. Nama-Nama tidaklah memiliki Wujud
secara obyektif, mereka hanyalah memiliki wujud secara subyektif atau
imajinatif. Ya, bagi Wujud Yang Maha Mutlak Nama tidak mungkin mempunyai
keberadaan secara obyektif, kecuali Nama tersebut identik dengan Wujud Yang
Maha Mutlak. Jika Nama mungkin mempunyai keberadaan secara obyektif walaupun ia
tidak identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak, maka ini melanggar prinsip
non-kontradiksi.
Nama-Nama Tuhan yang terkena cahaya
Wujud akan berpendar dan mereka akan memancarkan Cahaya Wujud sesuai dengan
sudut pandang masing-masing. Antara Cahaya yang terpancar dari satu Nama dengan
Cahaya yang dipancarkan dari Nama lain dapat terjadi berbagai hubungan.
Berbagai hubungan tersebut bisa merupakan unifikasi, negasi, interseksi, dan
lain-lain. Berbagai hubungan antar Nama kembali memendarkan berbagai Nama-Nama
baru yang merupakan manifestasi dari berbagai Nama-Nama yang lebih dulu
memperoleh Cahaya Wujud. Ini terjadi terus menerus di berbagai arah sehingga
“terciptalah” alam ini sebagai manifestasi dari Nama-Nama Allah. Atau dengan
kata lain, seluruh alam ini tidak lain adalah Nama Allah dalam sebuah ceramah
Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini dijelaskan bahwa;
“The whole world is a name of Allah,
because the name of thing is its sign or symbol and as all the things existing
are the signs of Allah, it may be said the the whole world is His Name. At the
most it can be said that very few people fully understand how the existing
things are the signs of Allah. Most people know only this much that nothing can
come into existence automatically.
…….
This much can be easily understood by
all that exizting things are a sign and a name of Allah. We can say that the
whole world is Allah’s name. But the case of this name is diffent from that of
the names given to ordinary things. For example if we want to indicate a lamp,
or a motor car to someone, we mention its name. The same thing we do in the
case of man or Zayd. But evidently that is not possible in the case of the Being
possessing infinite sublime qualities.” (Light Within Me, Islamic Seminary
Publication, Pakistan, First Edition 1991, pp. 123-124)
Yang terjemahan bebasnya kira-kira
sebagai berikut;
“Seluruh alam adalah Nama Allah,
karena nama dari sesuatu adalah tanda atau simbol dan karena seluruh yang ada
adalah tanda-tanda Allah, dapat dikatakan bahwa seluruh alam adalah NamaNya.
Sungguh dapat dikatakan bahwa sangat sedikit orang yang mengetahui secara penuh
bagaimana seluruh yang ada adalah tanda-tanda Allah. Kebanyakan orang tahu
tentang hal ini, hanya tentang bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat
meng-ada secara otomatis.
…….
Ini dapat dimengerti lebih muda oleh
semuanya bahwa segala sesuatu adalah tanda dan nama Allah, kita katakan bahwa
seluruh alam adalah nama Allah. Tapi nama di sini berbeda dengan nama-nama yang
diberikan ke hal-hal yang umum. Sebagai contoh, jika ingin menunjukkan lampu
atau sepeda motos kepada seseorang, kita menyebutkan namanya. Hal yang sama
kita lakukan dalam kasus manusia atau Zayd. Tapi, terbukti bahwa ini tidaklah
mungkin dalam konteks Wujud yang memiliki sifat-sifat yang mahatinggi tiada
terhingga.”
Nama memberikan berbagai esensi yang
berbada kepada Wujud Yang MahaTunggal. Nama memberikan berbagai makna
konsepsional yang berbeda kepada Wujud Yang MahaTunggal. Nama memberikan
berbagai gradasi yang berbeda kepada Wujud Yang MahaTunggal. Esensi, makna
konsepsional maupun gradasi diberikan dalam alam yang imajinatif atau
subyektif. Imajinatif jika dipandang relatif terhadap Wujud Yang Maha Mutlak.
Kenapa? Karena telah dibuktikan bahwa jika keberadaan dari Wujud Yang Maha
Mutlak obyektif, maka tidak mungkin semua selain dirinya mempunyai keberadaan
yang obyektif kecuali identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak itu sendiri. Karena
jelas bahwa Wujud Yang Maha Mutlak keberadaanya benar-benar obyektif, maka
segala sesuatu yang nampak “ghair” atau “Wujud Yang Maha Mutlak ini hanya “ada”
secara subyektif saja, bukan secara obyektif. Artinya penciptaan semua di alam
plural ini terjadi dalam alam imajinasi, bukan alam nyata. Maha Suci Ia Yang
Maha Nyata dan tidak ada suatu apa pun yang Nyata kecuali Ia.
Qur’an mengatakan : Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi …(QS.
An-Nur 33). Tidak dikatakan bahwa langit dan bumi diberi iluminasi oleh
cahaya. Alasannya adalah bahwa langit dan bumi adalah non-entitas (bukan
sesuatu). Tidak ada apapun dalam dunia kita yang mempunyai eksistensi
independen. Tidak ada yang maujud kecuali Allah, (Paragraf ini dicuplik dari
penjelasan Imam Khomeini dalam buku Light Within Me, hal 126-127)…
Dengan rahmatNya, dan petunjukNya
serta berkah Nabi-Nya Muhammad (S.A.W.W) dan para Imam Suci (a.s), penulis
mengajak seluruh pembaca sekalian untuk merenungi makna kata imajinasi yang
digunakan di sini. Imajinasi di sini bukanlah fantasi. Imajinasi di sini adalah
pemahaman. Seperti yang telah dikutip oleh Prof. Henry Corbin dari Syaikh
Al-Akbar ‘Ibnu ‘Arabi;
“This the world is pure representation
(mutawahham), there is no substantial existence; that is the meaning of
Imagination… Understand then who you are, understand what your selfhood is,
what your relation is with the Divine Being; understand whereby you are He and
whereby you are other than He, That is, the world, or Whatever you may choose
to call it. For it is in proportion to this knowledge that the degrees of
preeminence among Sages are determined. “(Creative Imagination in the Sufism of
Ibn ‘Arabi, Henry Corbin, Princeton University Press, Princeton, N.J., 1969,
pp. 192).
Yang terjemahan bebasnya adalah
sebagai berikut;
“Jadi alam ini adalah representasi
murni (mutawahham), tidak ada keberadaan yang substansial; itulah makna
Imajinasi….. Pahamilah kemudian siapa Anda, pahamilah apa kedirian Anda, apa
hubungan Anda dengan Wujud Tuhan; pahami bahwa Anda adalah Dia dan bahwa Anda
adalah selain Dia. Itulah, alam, atau apapun yang Anda pilih untuk menyebutnya.
Karena derajat keutamaan di antara orang-orang yang selamat, sebanding dengan
pengetahuan ini.”
Dalam Doa Kumayl Ibnu Ziyad, Imam Ali
bin Abi Thalib (a.s) merintih kepada Allah;
“Aturooka
mu’adzidzibi binaarika ba’da tauhiidika
waba’da
man thowaa ‘alaihi qolbii min ma’rifatika
walahijaabihhi
lisaani min dzikrika
wa’taqadahuu
dhomiiri min hubbik
wa ba’da
shidqi’tiroofi wadu’aaii khoodi’an li rubuubiyyatik
Haihaata
…
Anta
akromu min an tudhoyyi an man robbaitah”
Yang
terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut:
“Apakah
Engkau akan menyiksaku dengan neraka-Mu,
setelah
aku mentauhidkan-Mu
setelah
hatiku tenggelam dalam makrifat-Mu
setelah
lidahku bergetar menyebut-Mu
setelah
jantungku terikat dengan cinta-Mu
setelah
segala ketulusan pengakuan dan permohonanku
seraya
tunduk bersimpuh pada rububiyah-Mu?
Tidak………,
Engkau
terlalu mulia untuk mencampakkan orang yang Engkau ayomi,”
Syaikhul Akbar Ibn ‘Arabi bersyair;
Engendered
being is only imagination,
yet
in truth it is the Real.
He who
has understood this point
has
grasped the mysteries of the Path
(Fusuus 159, Ibn ‘Arabi, diambil dari The Sufi Path of
Knowledge,
William C. Chittick, State University
of New York Press, Albany ,
1989, pp. 143)
Terjemahan bebasnya kira-kira adalah
sebagai berikut;
Bermacam-macam
wujud hanyalah imajinasi,
tapi
sebenarnya itu adalah Yang Nyata.
Ia yang
telah mengetahui hal ini
telah
memahami rahasia dari Jalan
Imajinasi di sini adalah Imajinasi
Aktif, -yang tidak lain merupakan suatu organ tajalli yang esensial karena ia
adalah organ penciptaan dan karena penciptaan tidak lain adalah tajalli. Wujud
Yang Maha Mutlak adalah Penciptaan karena Ia ingin mengenal dirinya sendiri
dalam wujud-wujud yang mengenal-Nya. Jadi Imajinasi Aktif tidak dapat disifati
sebagai ilusif, karena ia adalah organ dan substansi penampakan yang mesti dan
spontan ini. Wujud manifestasi kita adalah Imajinasi uhan; dan Imajinasi kita sendiri
adalah Imajinasi dalam Imajinasi-Nya. (Paragraf ini disadur juga dari Creative
Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi,
Henry Corbin, Princeton University Press, princeton, N.J, 1969, pp. 190)
Imajinasi teofani mempunyai dua
fungsi; sebagai Imajinasi penciptaan yang mengimajinasikan Penciptaan dan
Imajinasi Makhluk yang mengimajinasikan Penciptaan. Hati (al-qalb) merupakan
suatu “organ lembut” dalam diri manusia yang mempunyai kemampuan menangkap
visi-visi teofanik. Visi-visi teofanik adalah pandangan-pandangan kepada
berbagai tajalli Tuhan yang ada dalam alam Imajinasi teofani.
Eksisitensi alam terbentang luas dalam
alam Imajinasi. Untuk memperjelas hal ini mari kita renungi sejenak tentang
imajinasi kita. Sifat-sifat imajinasi kita sama dengan sifat-sifat eksistensi
alam ini. Imajinasi kita, -seperti yang kita alami di alam mimpi-, merupakan
barzakh antara ruh dan jasad, sedang eksistensi alam ini merupakan barzakh
antara Wujud Mutlak dengan ketiadaan Mutlak. Seperti alam yang kita lihat dalam
mimpi adalah spiritual dan material, bermakna dan berbentuk, demikian pula alam
yang dilihat oleh Tuhan dalam “mimpi”-Nya terbentuk dari Wujud dan ketiadaan.
Ketika kita angun tidak dan ingin memahami mimpi kita, kita berusaha
menginterpretasikan mimpi tersebut atau pergi ke ahli tafsir mimpi untuk
melakukannya bagi kita. Demikian juga, ketika kita mati dan “bangun” ke mimpi
kosmik Tuhan, kita akan memperoleh interpretasi atau tafsir mimpi kita.
(walaupun kebangunan itu sendiri adalah tahap lain dalam mimpi kosmik).
Alam ini adalah Dia sekaligus bukan
Dia (Huwa/Laa Huwa). Argumentasi filosofisnya amat simpel, kalau alam ini bukan
Dia berarti ada sesuatu selain Dia. Padahal Dia adalah Keberadaan Mutlak,
sehingga selain Dia pasti adalah ketiadaan mutlak. Sebaliknya kalau alam
ini Dia, maka karena alam ini tersusun
atas beberapa entitas yang lebih kecil. Dia-pun tersusun (murakkab). Dan
Keberadaan Mutlak jelas tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil
(Baca kemabli Renungan Kedua di buku ini Renungan Tauhid). Renungan mendalam
tentang eksistensi alam ini menyadarkan kita akan adanya sifat dasar eksistensi
yang mendua (ambigu) ini.
Mungkin tidak ada frasa yang dapat
demikian gamblang dan simpel yang menjelaskan hal ini lebih dari Sabdar Amirul
Mukminim Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam Nahjul-Balaghah;
“Dia (Allah) maujud bukan karena suatu ciptaan. Bukan
pula muncul dari ketiadaan. Dia “ada” bersama dengan segala sesuatu namun tidak
dengan suatu kesertaan. Bukan pula Dia lain dari segala sesuatu disebabkan
keterpisahan darinya. Dia adalah Pelaku, namun tanpa (menggunakan) gerak
ataupun alat. Maha Melihat, meskipun sebelum adanya suatu makhluk apa pun.
Sendiri, disebabkan tak adanya sesuatu yang dengannya Ia merasa terikat ataupun
gelisah bila ia terpisah dari-Nya.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad
Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 22).
Atau juga
seperti Sabda Beliau yang lain dalam Nahjul-Balaghah;
“Tiada Ia “mendiami” sesuatu sehingga dapat disebut. Ia
“ada” di sana. Dan tiada Ia berpisah dari sesuatu sehingga dapat disebut. Ia
“tidak ada” di sana.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir,
Mizan, Bandung, 1990, hal. 24).
Mengenai ketidak tersusunan
(ketakterpilah-pilahan)-Nya, ini dapat diketahui dengan merenungi Sabda Beliau
berikut ini:
“Maka barangsiapa meletakkan suatu sifat kepada-Nya,
sama saja dengan seseorang yang menyertakan sesuatu dengan-Nya. Dan barang
siapa menyertakan sesuatu dengan-Nya, maka ia telah menduakan-Nya. Dan barang
siapa menduaka-Nya, maka ia telah memilah-milahkan (Zat)-Nya. Dan barang siapa
memilah-milahkan-Nya, maka ia sesungguhnya tidak mengenal-Nya. Dan barang siapa
tidak mengenal-Nya, akan melakukan penunjukan kepada-Nya, maka ia telah membuat
batasan tentang-Nya. Dan barang siapa berkata : “Di manakah Dia? , maka
sesungguhnya ia telah menganggap-Nya terkandung dalam sesuatu. Dan barang siapa
berkata: “Di atas apakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah mengosongkan sesuatu
dari (kehadiran)-Nya.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan,
Bandung, 1990, hal. 22).
Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi mengutip
ayat Qur’an yang menunjukkan kepada realitas Huwa/Laa Huwa dari alam ini Qur’an
mengatakan. “Bukan engkau yang melepar ketika engkau melempar, tapi Tuhan yang
melempar.” (QS 8 : 17). Ayat tersebut menegaskan realitas individu dari Nabi,
kemudian menegaskan dengan mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan-lah yang berada di
balik permunculan tersebut. Syaikh Al-Akbar melanjutkan,
“But the clear formulation of this question is terribly
difficult. Verbal expression (‘ibaara) falls short of it and conceptualization
(tasawwur) cannot define it, because it quickly escapes and its properties are
contradictory. It is like His wordf, “You did not throw, “so He negated “whwn
you threw,” so He affirmed, “but God threw, “so He negated the engendered
existence (kwan) of Muhammad and affirmed Himself as identical (‘ain) with
Muhammad, since He appointed for him the name “God”. (II 216.12) (The Sufi Path
of knowledge, William C. Chitick, State University of New York Press, Albany.
1989, pp. 115)
Terjemahan
bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
“Tapi formulasi yang jelas mengenai pertanyaan ini amat
sulit. Ekspresi verbal (‘ibaara) tak bisa mengungkapkannya dan konseptualisasi
(tasawwur) tidak dapat mendefinisikannya, karena ini akan lepas dengan segera
dan sifat-sifatnya kontradiktif. Ini adalah seperti firmanNya, “bukan engkau
yang melempar, “maka Ia menegasikan, “ketika engkau melempar”, maka Ia
menegaskan, “tapi Tuhan yang melempar, “maka Ia menegaskan eksistensi (kawn)
Muhammad dan menegaskan Diri-Nya identik (‘ain) dengan Muhammad, karena Ia
menunjuk baginya nama “Tuhan.”
Kembali menurut Syaikh Al-Akbar Ibn
‘Arabi, realitas Huwa/Laa Huwa menemukan ekspresinya yang terjelas dalam kosmos
melalu imajinasi (khayaal).Dalam mimpi, sebagai contoh, yang merupakan sebuah
fungsi imajinasi, seorang manusia melihat benda-benda material yang tidak
merupakan benda material. Obyek-obyek yang dilihatnya mempunyai bentuk
material, tapi mereka tidak ada di dunia benda-benda material, tapi dalam alam
imajinasi/jiwa. Imajinasi dapat menangkap sebuah makna (ma’na) tanpa bentuk
luar apapun dan memberikannya kepada sebuah bentuk sensorik tertentu.
Perlu penulis tekankan di sini bahwa
kemenduaan (ambiguitas) alam ini tidak melanggar prinsip non-kontradiksi logis.
Alam sekaligus sebagai Huwa/Laa Huwa tidak kontradiktid. Kenapa? Karena
alam adalah Huwa di lihat dari satu
sudut pandang, dan alam adalah Laa Huwa
ditinjau dari sudut pandang lain. Ditinjau dari eksistensinya alam adalah Huwa. Sedang ditinjau dari esensinya
yang membuat alam ini nampak plural-, alam adalah Laa Huwa. Di sini penulis kurang setuju dengan pendapat.
Mahaguru penulis YM. Syaik Al-Akbar Ibn ‘Arabi yang dikutip oleh William C.
Chittick sebagai berikut;
“God
posseses stregth because of the inaccessibility (‘izza) of some, -or all- of
the possible things, that is, the fact that they do not accept opposites. One
of the effects of strength is the creation of the World of Imagination in order
to make manifest within it the fact that it bring together all opposites
(al-jam’bayn al-addad). It is impossible for snse perception or the rational
faculty to bring together opposites, but it is not impossible for imagination.”
(The Sufi Path of Knowledge, William C. Chittick, State University of New York
Press, Albany, 1989, pp. 115).
Terjemahan
bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
“Tuhan mempunyai kekuatan karena ketaktercapaian
(‘izza) beberapa, -atau semua-, hal-hal yang mungkin, yaitu bahwa mereka tidak
menerima hal-hal yang berlawanan. Satu dari efek kekuatan adalah penciptaan
Dunia Imajinasi untuk membuat manifestasi di dalamnya kenyataan bahwa ia
membawa bersama seluruh hal-hal yang berlawanan (al-jam’byan al-addaad). Adalah
tidak mungkin bagi persepsi inderawi ataupun fakultas rasional untuk membawa
bersama hal-hal yang berlawanan, tapi ini mungkin untuk imajinasi.”
Perlu
penulis sedikit garis bawahi di sini bahwa Syaikh Al-Akbar berpendapat bahwa
“penciptaan” telah menghasilkan watak ambigu eksistensi alam. Selanjutnya,
Beliau YM. Menafsirkan ambiguitas eksistensi alam ini sebagai kontradiksi
rasional, sehingga fakultas rasional tidak akan bisa menerimanya. Sedang kami,
penulis yang mahanista dan mahadho’if ini sedikit ingin mengungkapkan pendapat
kami yang sedikit berbeda, yaitu; ambiguitas eksistensi alam ini bukan
kontradiksi rasional, sehingga fakultas rasional bisa menerimanya. Tapi,
penulis sepakat bahwa hal ini bisa dimengerti oleh imajinasi, dan penulis
sepakat pula dengan implikasi praktisnya bahwa hal ini bisa dimengerti oleh
imajinasi, dan penulis sepakat pula dengan implikasi praktisnya bahwa dalam
memahami alam ini diperlukan pada penggunaan yang optimal fakultas imajinasi.
Alih-alih mengatakan penciptaan ini tidak rasional atau tidak logis penulis mengatakan bahwa penciptaan ini
rasional dan logis walaupun penjelasan secara mendetail tentang penciptaan
secara rasional murni sulit. Penulis yakin bahwa penjelasan yang benar dari
fakultas imajinatif tentang penciptaan tidak pernah dan tidak akan pernah melanggar
prinsip non-kontradiksi logis. Tapi, penulis pun yakin bahwa kalau pun
kelihatannya ada sedikit perbedaan antara pendapat Syaikh Al-Akbar dengan
pendapat ini, perbedaan itu hanyalah karena masalah pengungkapannya saja, dan
tidak hakiki.
Meminjam istilah Imannuel Kant,
memahami kosmologi penciptaan dalam dan dengan Imajinasi Teofani adalah
termasuk dalam hal-hal yang supra-logis, yang jika dicoba dianalisis secara
rasional tapi kurang matang akan menjerumuskan kita pada hal-hal yang nampaknya
kontradiktif (biasanya disebut sebagai paralogisme). Seperti halnya apakah
bijak berusaha memahami secara logis alunan “Air on G-String” dari komponis
besar Johann Sebastian Bach? Tentu tidak tepat. Makna yang disampaikan oleh
“Air on G-String” harus dipahami dengan rasa seni, tidak dengan logika. Tapi
ini bukan berarti bahwa “Air on G-String” itu tidak logis. Karena tidak
melanggar hukum logika manapun. Pernyataan yang lebih tepat adalah “Air on
G-String” semestinya tidak dipahami dengan logika. Demikian pula hakikat pesan
yang hendak disampaikan oleh Syaikh Al-Akbar, pahamilah penciptaan dengan
Imajinasi Aktif, dengan Imajinasi Teofani. Hanya Imajinasi dalam Imajinasi-Nya
lah yang paling tepat untuk memahami keseluruhan hakikat alam yang imajinatif
ini. Mari kita renungi sebuah cuplikan dari doa Ash-Shobah Imam ‘Ali bin Abi
Thalib (a.s) berikut ini;
“Yaa man qorba min khothorootizh-zhunuun
wa ba’uda al-lahazhootil ‘uyuun”
yang
terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;
“Wahai yang dekat dengan khatharaati azh-zhunuun
(pikiran yang melintas) dan jauh dari pandangan mata.”
Bagaimana kita bisa naik ke alam-alam
kesadaran yang lebih tinggi bangun dari satu impian masuk ke dalam impian lain
yang lebih nyata dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang lebih tinggi? Doa
dan zikir baik yang nampak maupun yang khofiy,
disertai dengan tafakkur terus menerus tentang Tuhan mungkin merupakan satu
cara. Betapa rindunya kita akan suatu maqam yang lebih di miliki oleh Pemimpin
Para Wali Yang Mulia Amirul Mukminim Imamul Muthadin ‘Ali bin Abi Thalib (a.s)
yang diisyaratkan dalam Sabda Beliau berikut ini;
Seorang laki-laki bernama Dzi’lib Al-Yamani bertanya:
“Dapatkah Anda melihat Tuhanmu, wahai Amir Al-Mukmini?” Jawab Imam Ali a.s :
“Akankah aku menyembah sesuatu yang tidak kulihat?!” “Bagaimana Anda
melihat-Nya?” tanya orang itu lagi. Maka beliau memberikan penjelasannya: “Dia
(Allah) takkan tercapai oleh penglihatan mata, tapi oleh mata-hati yang penuh
dengan hakikat keimanan. Ia dekat dari segalanya tanpa sentuhan. Jauh tanpa
jarak. Berbicara tanpa harus berpikir. Berkehendak tanpa perlu berencana.
Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tetapi tidak tersembunyi. Besar tapi
tidak teraih. Melihat tapi tidak bersifat inderawi. Maha Penyayang tapi tidak
bersifat lunak.
Wajah-Wajah merunduk di hadapan keagungan-Nya.
Jiwa-jiwa bergetas karena ketakutan terhadap-Nya. (Mutiara Nahjul Balaghah,
Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 25).
Wallohu a’lam bish-showab.
Walhamdulilahirobbil’alamin. Washolallohu ‘ala sayyidun Muhammadin wa
aalihith-thoohiriin. Wa la haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim.
Renungan
8
Bersatu
dalam Melodi Cinta
Dan Majnun pun terhenyak, tak kuasa ia
menutup matanya barang sekejap. Betapa sempurnanya lentik matanya, lesung pipit
yang senantiasa menghiasi senyum lembutnya. Semampai sempurna tubuhnya,
senantiasa tertunduk malu wajahnya. Dan mengapa nafasnya dan desahnya seolah
selalu tersipu? Ungu kehijauan alami menghiasi bawah kelompak matanya. O….,
kesempurnaan keindahan yang mahacantik! O…, Laila! O,…Laila!
Tapi, geram permusuhan kesukuan ayah
Laila mencampakkan seluruh harapan dan getaran rasa. Gigi-gigi ayah Laila
senantiasa beradu menahan dengan mahadahsyat terhadap semua orang dari Suku
Majnun. Beliau menyaksikan dan mendnegar apa yang telah dikatakan orang banyak
“Majnun, -orang termulia dalam ilmu maupun hartanya diantara seluruh pemuda
kita-, telah jatuh cinta pada Laila. Majnun telah gila oleh cintanya. Tak
dilihatnya lagi dendam turun temurun antara sukunya dan suku Laila. Majnun
telah benar-benar mencintai Laila. Siang dan malam, “Laila” saja yang terucap
pada siapapun. Kecantikannya. Keanggunannya. Kesuciannnya. Ke…..nya, Ke….nya
dan Ke…nya”. Ayah Laila bertindak tegas, Laila dikurung dalam rumah, tak boleh
keluar dari pekarangan rumah, agar tiada satu pun Majnun dapat melihat bahkan
mendengar langkah Laila.
Ooo,
rembulan telah tiga surya kulewati tanpa menatap wajah Laila. Betapa gundah
hati nan dipenuhi dengan gejolak asmara ini. Betapa pilu relung-relung rindu
nurani nan dibanjiri dengan airmata cinta ini. Betapa mungkin kulewati dirimu
dan surya tanpa lentik matanya. Dan apatah arti Sang Waktu dan Hayat yang ada
di dalamnya tanpa tunduk malu Laila?
Dalam terang-reamangnya cahaya
rembulan, pelahan ada satu bintik keputih-putihan dari kandang domba di
pekarangan Laila mendekat dan mendekat. Semakin dekat semakin jelas. Sang
penggembala domba keluarga Laila pulang setelah usai tugasnya. Duhai Majnun, apa gerangan yang engkau
sedihkan ? Laila-kah? Sungguh ia senantiasa menatapi domba-dombaku ketika masuk
kandan dari jendela kamarnya. Ia pun tampak berduka dan sayu. Tampaknya
cintanya padamu telha membakar sari-sari hasratnya.
Terima
kasih duhai gembala budiman. Esok hari kan kubeli pakaian domba, dan akupun
akan datang padamu dengan bulu domba, kepala domba dan tanduk domba. Aku akan
menjadi domba mu. Aku rela menjadi domba mu. Dan, saat itulah yang kuinginkan!
Saat dimana Laila menatap ku dan aku pun makin menyadari lentik sempurna bulu
matanya, dan percik kemilau air matanya. Aku lah domba Laila. Namaku Majnin.
Namaku Majnun domba Laila. (Musyawarah Brung, Fariduddin Attar Naishapur)
Demikian hembat Cinta telah mengubah
Majnun, -idola kesuksesan para pemuda di masanya-, menjadi seekor domba Laila.
Ia melewatkan malam-malamnya di kandang kumuh domba. Meninggalkan kasur empuk
dan aroma-aroma parfum wangi di rumah megahnya. Demikian hebat Cinta telah
mengubah Majnun, -pemuda yang dikejar beribu wanita cantik-, sehingga Ia rela
hidup beserta binatang-binatang kotor yang kandangnya selalu dihiasai denan bau
tahi-tahi yang telah membusuk. Tiada lagi rasa mual, tiada lagi rasa jijik,
tiada lagi rasa segan, tiada lagi harga diri, tiada lagi penghalang bagi Majnun
untuk menatap sekilas kilau wajah kekasihnya, Laila. Inilah Cinta!
Perlu dicatat kata-kata Cinta yang
digunakan disin tidak identik dengan Cinta Syahwat antara dua orang yang
berlawanan jenis kelaminnya. Tidak pula dengan Cinta akan hal-hal yang bersifat
fisikal saja. Kata Cinta dalam makalah ini diartikan sebagai Cinta dalam arti
luas, seperti Cinta seorang Ibu terhadap anaknya, Cinta seorang anak terhadap
kucingnya, Cinta seorang petualang terhadap pemandangan, Cinta seorang dermawan
terhadap pengemis, Cinta manusia terhadap sesama dan lain-lain. Cinta dalam
arti luas lebih suci, bersih dari pamrih-pamrih material. Tidak ada pamrin
dalam Cinta kecuali pedihnya Cinta itu sendiri. Mengapa sedih? Karena jika ada
Cinta pasti ada kerinduan dan ujung dari rindu adalah si Pecinta telah identik
dengan yang dicintainya, dan ini secara umum tidak mungkin. Jadi pedihnya Cinta
itu tiada ujung. Perhatikan seorang Ibu yang menikmati kekhawatirannya saat
anaknya terlambat pulang dari sekolah.
Cinta dapat membuat semua yang tidak
mungkin menjadi mungkin. Kekuatan Cinta tersembunyi di relung-relung rahasia
semesta. Kekuatan ini muncul di berbagai zaman dengan berbagai peristiwa
pengorbanan besar dalam sejarah. Kekuatan ini muncul di berbagai peristiwa
dengan kejadian-kejadian mu’zizati. Mari kita renungi kembali sajak Jalaluddin
Rumi yang dikutip di awal makalah ini.
Cinta adalah rahasia keharmonisan
alam. Sesuatu yang mencintai suatu obyek tertentu, akan menjadikan obyek itu
ekstensi drai eksistensinya sendiri. Sesuatu yang mencintai suatu obyek
tertentu, akan berusaha melakukan segala sesuatu yang mendekatkan dirinya pada
obyek tersebut betapapun sulitnya. Sesuatu yang mencintai suatu obyek tertentu,
akab berusaha melakukan segala sesuatu yang baik dan berguna bagi obyek yang
dicintainya. Jika dua obyek saling mencintai, maka maisng-masing akan berusaha
melakukan segala sesuatu yang baik bagi yang lainnya. Inilah harmoni. Harmoni
adalah kumpulan simetri-simetri beberapa hal. Simetri itu indah. Simetri itu
menunjukkan bahwa suatu obyek identik dengan obyek lain, ditinjau dari suatu
sudut pandang tertentu. Cinta dengan segenap geraknya menuju suatu harmoni pada
puncaknya akan menghasilkan penyatuan
substansi antara pecinta dengan yang dicintainya. Gerakan substansial
antara pecinta dan yang dicintainya ini telah dibuktikan secara filosofis oleh
Filosof Besar asal Iran Mulla Shadra, dan telah dibuktikan oleh beberapa
eksperimen psikologi mutakhir. Evolusi foto sebelum menikah sampai hari tua
dari banyak pasangan suami-istri menampakkan suatu fenomena umum bahwa bentuk
wajah mereka menjadi semakin mirip dengan bertambahnya usia mereka. Ini salah
satu bukti eksperimental yang sederhana tapu jelas tentang gejala penyatuan
antara pecinta dengan yang dicintainya tersebut.
Para pecinta Tuhan, terserap ke dalam
keagungan Tuhan setiap saat. Maka ada suatu pertanyaan yang amat penting.
Apakah mungkin suatu saat ia benar-benar bersatu menjadi Tuhan, ataukah ia
tidak mungkin dan tidak pernah akan mungkin bersatu dengan Tuhan? Menjawab
pertanyaan ini ada dua golongan besar ‘arif sebagaimana yang disebutkan oleh
Syaikh Ibrahim Gazur I-Ilahi;
“…kaum Sufi
seperti Syaikh Syihabuddin Suhrawardi mempertahankan bahwa dalam Fana, yang terbatas (Banda) menjadi k’anahu hu (seperti Dia) dan buku Huu Huu (Dia, Dia), seperti besi dalam api yang menjadi serupa api
dan bukanlah api itu sendiri; realitas besi adalah sama sekali berbeda dari
api. Dalam Nafhatu’l Una, 300 Wali
adalah pengikut aliran ini, dan 300 lainnya adalah pengikut Syaikh-i-Akbar,
yang mempertahankan bahwa Banda
menjadi Huu Huu.” (Ana Al-Haqq,
Syaikh Ibrahim Gazur I-Ilahi, terjemahan, Rajawali Pers, 1986, hal. 21).
Husein bin Manzhur Al-Hallaj adalah
contoh pecinta Tuhan yang bermazhabkan Huu
Huu. Al-Hallaj terkenal dengan perkataannya “Ana Ak-Haqq” (Akulah Al-Haqq/Akulah Tuhan). Ia di eksekusi di
Baghdad pada 26 Maret 922. Al-Hallaj menjadi simbol bagi pecinta Tuhan yang
menderita, dan bagi orang-orang yang percaya tentang kesatuan pecinta dengan
Tuhan, karena mabuk Cinta Ilahi.
Penulis tidak ingin menganalisis lebih
lanjut mana yang benar di antara kedua mazhab ini. Ini benar-benar di luar
jangkauan penulis, tapi marilah kita renungi ungkapan doa dari Imam ‘Ali Zainal
‘Abidin yang akurat menggambarkan beberapa hal tentang Cinta Ilahi ini;
Untuk-Mu saja
tercurah himmah (keinginan, hasrat,
tekad, semangat)-ku
kepada-Mu jua
terpusat hasratku
Engkaulah
hanya tempat kedambaanku-tidak yang lain
Karena-Mu
saja aku tegak terjaga-tidak karena yang lain
Perjumpaan
dengan-Mu kesejukan hatiku
Pertemuan dengan-Mu kecintaan diriku
Kepada-Mu
kedambaanku
Pada cinta-Mu
tumpuanku
Pada kasih-Mu
gelora rinduku
Ridha-Mu
tujuanku
Melihat-Mu
keperluanku
Mengampingi-Mu
keinginanku
Mendekati-Mu
puncak permohonanmu
Menyeru-Mu
damai dan tenteramku
Di sisi-Mu
penawar deritaku
penyembah lukaku
penyejuk dukaku
penghilang
sengsaraku
Birohmatika
Yaa Arhamar-rohimiin
Washolalloohu
‘ala Muhammadin wa aalihith-thoohiriin.
Renungan
9
Kemiskinan
Ruhaniah
Dalam salah satu magnum opusnya, “The Art of Loving”, Eric Fromn
menjelaskan tentang dua buah keadaan jiwa manusia, being dan becoming.
Terjemahan secara tepat kedua istilah ini ke dalam peristilahan Indonesia
secara akurat amat sulit.
Modus being merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah merasa menjadi sesuatu. Misalnya, saya telah menjadi suami dari Nur, saya telah menjadi pemilik mobil BMW, saya telah menjadi orang shalih,
saya telah menjadi orang dengan status sosial cukup, dan lain-lain. Dengan
pengertian lain yang telah primodrial, modus being merupakana suatu keadaan
dimana seseorang telah merasa memiliki sesuatu.
Misalnya, saya telah memiliki Nur
sebagai istriku, saya telah memiliki mobil
BMW, saya telah menjadi orang
shalih, saya telah memiliki kedudukan
sosial yang cukup, dan lain-lain.
Modus being and becoming dapat
diartikan secara ringkas sebagai memiliki
dan menjadi.
Jika seseorang berada dalam modus being, maka terhadap sesuatu yang telah
merasa dimilikinya akan timbul suatu perasaan hambar dan bosan. Sedang jika ia
berada dalam modus becoming, maka
terhadap suatu yang belum dimilikinya dan ingin memilikinya, akan timbul suatu
gairah yang berbanding lurus dengan kuatnya keinginannya untuk memiliki hal
itu. Sebagai contoh, betapa besar dan indahnya perasaan seorang laki-laki yang
sedang jatuh cinta kepada seorang wanita. Manakala wanita itu masih belum
benar-benar menjadi istrinya, gairahnya menyala-yala, sikapnya demikian lembut
dan penuh kasih sayang. Segalanya menjadi indah di mata laki-laki. Bahkan semua
cacat-cacat kecilnya pun bisa tampak dengan hiasan. Ini merupakan modus becoming dari proses hubungan antara
laki-laki dan wanita. Namun begitu wanita tersebut menjadi istrinya, dan
laki-laki itu merasa memiliki istrinya
secara penuh, sering terjadi bahwa lambat laun sikap maupun gairahnya
terhadap istrinya turun, dan seperti yang kita lihat begitu banyak pasangan
seolah-olah pada modus becoming-nya
amat ideal dan serasi, ternyata sering kandas pada modus being-nya.
Modus becoming adalah memberikan dinamika dan kemajuan terus tiada henti.
Hal ini karena subyek pelaku modus ini selalu merasa kurang, merasa miskin
terhadap apa yang hendak dicapainya. Dalam artian positifnya, ini akan
menghasilkan suatu ihtiar tiada henti yang menghasilkan begitu banyak intuisi,
kreatifitas dan berbagai kemampuan lain. Dalam istilah keagamaan, dihadapan
kesempurnaan Yang Maha Agung, manusia harus merasa dirinya mahamiskin,
mahafakir, tiada memiliki kekuatan dan kemampuan apapun yang perlu dibanggakan.
Ini adalah pengejawantahan sifat rendah-hati sejati.
Modus being adalah kemujudan, kemandegan atau stagnasi. Hal ini karena
pelaku modus ini sudah merasa memiliki sesuatu, merasa punya, merasa mempunyai
kualitas-kualitas unggul tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Ini akan
menghasilkan suatu keadaan mandeg tanpa ihtiar untuk memperbaiki diri, dan merupakan
gunung hambatan yang amat dahsyat yang menghalangi perkembangan seluruh potensi
kemanusiaan kita. Dalam istilah keagamaan, ini mencerminkan suatu sifat sombong
dan takabur, yang merupakan sifat-sifat yang dimurkai Yang Maha Agung.
Karena itu pula dikatakan bahwa,
“Kemiskinan ruhaniah (al-faqr) merupakan awal dari kearifan.” Jika seseorang
merasa miskin amal, miskin ‘ilmu, miskin secara ruhaniah, dipenuhi dengan dosa
dan keburukan, pastilah ini akan merendah serendah-rendahnya dihadapan Allah
Yang Maha Agung. Ini seperti yang dirintihkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib
(a.s) dalam doa Kumayl Ibnu Ziyad;
Wa
ana’abdukadh-dho’ifudz-dzaliilul-haqiirul-miskiinul mustakiin.
Padahal aku hamba-Mu yang lemah,
rendah, hina, malang dan papa.
Semakin seorang hamba mengenal Allah,
semakin sadar ia akan kerendahan dirinya dan Keagungan Allah, semakin cepat
pula Allah menariknya mendekati diri-Nya. Semakin dekat hamba tersebut pada
Allah semakin ia merasa miskin, miskin sekali, tak punya satu kualitas kebaikan
apa-pun, sehingga pada puncaknya sang hamba akan lenyap dalam keagungan Tuha.
Seperti yang dikatakan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam doa
Ash-Shobah.
Yaa man tawahhada bil ‘izzi wal baqaa
Waqoharo ‘ibaadahu bil mauti wal
fanaa
Wahai yang Tunggal dalam Keagungan
dan Baqa (kekekalan)
Dan menaklukkan hambanya dengan
kematian dan Fana (kelenyapan)
Washolallohu ‘ala Muhammadin wa
aalihith-thoohiriin
Walhamdulillah
Wallohu a’lam bishshowab
Renungan
10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comments here